Menyikapi Golput secara Lebih Utuh


Jelang Pemilu 2009 banyak pihak gelisah melihat tingginya potensi golput. Para kontestan pemilu resah sebab golput akan melenyapkan potensi suara yang bisa diraih. Sementara para analis politik gundah lantaran makin tinggi angka golput, maka makin rendah legitimasi politik suatu pemerintahan. Golput, dengan demikian, adalah sebuah penelanjangan politik. Selain berbiaya politik tinggi, golput juga memakan biaya ekonomi. Bila golput nantinya tinggi, maka sekian ratus juta surat suara yang diproduksi akan sia-sia. Akan tetapi, benarkah fenomena golput di Indonesia sudah sedemikian mengkhawatirkan?

Keresahan akan potensi golput sejatinya terasa agak berlebihan. Secara umum, orang menjadi resah karena sekadar membandingkan tingkat golput antarperiode pemilu. Tentu, dengan cara tersebut, tidak saja akan didapat angka golput yang terus meningkat, tetapi juga lompatan persentase yang krusial, terutama dari era Orde Baru ke era Reformasi.

Dari laporan International IDEA (Voter Turnout Since 1945: A Global Report, 2006) terungkap angka partisipasi warga untuk datang dan mencoblos ke TPS (voter turnout) selama Orde Baru berkisar antara 94 persen (Pemilu 1971) sampai 88,9 persen (Pemilu 1997). Meski terus menurun, angka turnout relatif tetap tinggi. Angka ini bahkan mendekati level turnout di Australia, negara yang menerapkan compulsory voting (pemilihan wajib).

Banyak pihak lantas terperangah tatkala di Pemilu 2004 angka turnout terjun bebas pada kisaran 76,7 persen. Publik tambah panik melihat tingginya golput di pilkada langsung. Jelang Pemilu 2009, kepanikan ini menguat saat sejumlah lembaga survei mengumumkan tingginya angka undecided voters (kisaran 20-30 persen), yang dianggap sebagai golput potensial.

Memahami hal ini, kita hendaknya memerhatikan konteks politik di masing-masing periode pemilu. Kita tidak boleh lupa bahwa tingginya turnout di era Orde Baru adalah hasil represi, mobilisasi, dan manipulasi.

Sementara itu, Pemilu 1999 yang menunjukkan turnout tinggi mesti dipahami sebagai bentuk "ledakan partisipasi politik" dan ekspresi harapan masyarakat akan hadirnya perubahan pascarezim otoriter Orde Baru. Dengan demikian, tingkat turnout di Pemilu 2004 yang berkisar 70-an persen hendaknya dipahami sebagai masa awal dari sebuah negara yang mulai menjadi demokratis, mulai memasuki era "kewajaran" partisipasi politik.

"Kewajaran" bersinonim dengan tidak adanya dukungan politik yang berlebihan, misalnya angka turnout yang ekstrem di atas 95 persen, sebab angka ekstrem ini justru mengundang pertanyaan perihal kesehatan sistem politik yang tengah diterapkan. "Kewajaran" juga bermakna tidak adanya apatisme ekstrem dengan tingkat non-voting (sengaja tidak datang memilih) tinggi, sebagaimana Filipina tahun 2004. Wajar

Demokrasi yang "wajar" (baca: sehat) selalu akan menghadirkan pihak yang setuju dan tidak setuju, juga pihak yang mendukung dan tidak mendukung. Karena itu, hasil Pemilu 2004 sejatinya justru menunjukkan bahwa sistem politik telah welcome terhadap ekspresi pilihan politik yang dengan cara tidak memilih dalam pemilu.

Jika saja sejak awal Indonesia telah demokratis, tingkat non- voting mungkin akan relatif sama dari periode ke periode, yakni berkisar antara 20, 30, sampai 40 persen. Atau sebaliknya, andai Indonesia tetap berada di bawah rezim otoritarian yang memobilisasi, merepresi, dan memanipulasi politik, tingkat turnout akan tetap tinggi (berkisar 89-95 persen). Yang artinya, fenomena non-voting akan cenderung absen dari wajah politik nasional.

Ada baiknya kita menilik kisaran angka turnout 70 persen yang jamak terjadi di negara-negara lain. Di Amerika, Inggris, Jepang, dan Norwegia, misalnya, tingkat turnout kerap berkisar antara 60, 70, dan 80 persen. Amerika, Jepang, dan Inggris adalah contoh negara yang demokrasinya mapan. Sementara itu, Norwegia merupakan contoh negara yang tidak saja demokratis, melainkan juga mapan dalam kebijakan sosialnya.

Di negara-negara berkembang seperti India, Thailand, dan Malaysia, turnout juga selalu tidak pernah melebihi 70-an persen. Jadi, jika toh Indonesia diperkirakan mengalami turnout berkisar 60- 80 atau tingkat non-voting antara 20-40 persen, hal tersebut masih cukup wajar. Mungkin orang akan menyanggah bahwa negara-negara itu merupakan prototipe negara maju, yang pemilihnya sudah lebih rasional.

Akan tetapi, apakah arif dan rasional bila berasumsi bahwa masyarakat Indonesia tidak semakin rasional dalam menentukan pilihan politiknya dari pemilu ke pemilu berikutnya?

Hal lain yang harus diperhatikan adalah pemaknaan golput sebagai semua hal, kecuali suara sah. Suara rusak, pemilih tak terdaftar, pemilih terdaftar tetapi tidak memilih dikategorikan sebagai non- voting (golput). Padahal, jika dikaji kembali, misalnya merujuk International IDEA (2002), ada pembedaan definisi antara total vote, valid vote, invalid vote, registration, voter turnout, dan non- voting.

Total vote adalah valid vote (jumlah suara sah) ditambah invalid vote (jumlah suara tidak sah). Voter turnout (partisipasi pemilih) adalah total vote dibagi registration voters (jumlah pemilih terdaftar), biasanya dinyatakan dalam persentase. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa yang disebut non-voting adalah warga yang terdaftar (registerred voters) tetapi tidak datang ke TPS untuk memilih (not turning out to vote).

Suara rusak tidak bisa dikategorikan sebagai golput (non-voting) karena jelas warga datang ke TPS. Hanya karena sesuatu hal, baik sengaja maupun tidak, suara mereka menjadi tidak sah. Warga yang tak terdaftar juga bukan golput karena ketidakhadirannya di TPS adalah unintended. Justru karena tak terdaftar, kita sama sekali tak tahu apakah mereka punya intensi memilih atau tidak.

Jika saja terdaftar, boleh jadi mereka akan datang untuk memilih. Atau sebaliknya, mereka bisa juga tetap absen dari TPS dan tak memilih. Kiranya, pendefinisian golput secara pukul rata inilah yang membuat kita senantiasa mendapatkan angka non-voting yang lebih tinggi dari riilnya.

Tulisan ini tak bermaksud mengecilkan makna partisipasi dalam pemilu (voters turnout) sebagai bagian penting bagi pematangan demokrasi. Penulis hanya ingin mengajak pembaca melihat fenomena golput dalam konteks politik yang tengah beranjak demokratis. Ya, agar orang menyikapi golput secara lebih utuh dan dengan kepala yang lebih dingin

0 komentar: