GOLPUT, Oposisi Sosial dan Bangkitnya Gerakan Sosial

Golput berdiri sebagai garda terdepan demokrasi radikal. Dimana demokrasi dipahami sebagai, system that creates the economic, political, and cultural conditions for the full development of the individual. (Erich Fromm, Escape From Freedom, 1994). Lalu, bagaimana memahami golput?

Pertama, golput adalah mosi kepercayaan terhadap masa depan demokrasi, sekaligus mosi tidak percaya terhadap parpol maupun capres/cawapres peserta pemilu 2004. Kedua, golput adalah rallying point gerakan sosial yang melakukan oposisi sosial. Gerakan sosial tersebut membasiskan oposisinya pada beragam masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Ketiga, golput memegang legitimasi politik (kekuasaan de facto) sedangkan negara neo-Orba hanya memperoleh legitimasi hukum (kekuasaan de jure) dari pemilu 2004. Keempat, bila kekuasaan de facto ini dikonsolidasi dan dikomunikasikan secara terencana baik lokal, nasional, internasional, maka negara neo-Orba tanpa legitimasi politik, tidak akan bertahan lama. Ingat, Soeharto digulingkan sekitar 6 bulan setelah pemilu 1997, dimana Golkar menang 70% lebih, dan TNI/Polri memiliki kursi gratis 100 buah, juga senjata, penjara dan uang melimpah.


Tesis golput menjelang pemilu legislatif, Pemilu 2004 merupakan sarana legitimasi dan konsolidasi kediktatoran fasis Orde Baru dan memapankan reproduksi politiknya sebagai rezim hibrida neo-Orde Baru,
� tak bisa difalsifikasi. Kini, untuk menyenangkan pemilihnya yang kecewa, sejumlah parpol memaklumkan oposisi politik di parlemen, berkompromi dengan parpol yang mereprentasi Orba, neo-Orba dan militerisme. Hasilnya, tentu pembusukan demokrasi.

Berbeda halnya, oposisi sosial langsung menantang negara anti-demokrasi, membasiskan diri pada publik melalui beragam gerakan sosial, berpihak pada korban. Bila oposisi sosial berhasil menjadi sarana, (1) pendidikan politik demokrasi; (2) konsolidasi kekuatan politik demokrasi dan gerakan sosial, maka oposisi sosial akan menjadi embrio kekuasaan politik demokrasi sepanjang 5-10 tahun ke depan untuk mengisi lima arena transisi demokrasi, (1) masyarakat sipil; (2) masyarakat politik; (3) masyarakat ekonomi; (4) supremasi hukum; dan (5) aparatus negara.

Dengan demikian golput dan oposisi sosial menjadi basis perkembangan dan pertahanan demokrasi radikal terhadap kekuatan politik anti-demokrasi hasil pemilu 2004. Mengutip Antonio Gramsci (The Gramsci Reader, 2000), maka golput dan oposisi sosial adalah upaya membangun war of position dari dan dalam masyarakat sipil, berhadapan dengan negara anti-demokrasi, sebelum memutuskan war of manouver untuk menegakkan hegemoni politik demokrasi pada lima arena transisi demokrasi, seperti cita-cita para martir yang gugur pada Peristiwa Trisakti 12 Mei 1998.

Golput, proviciat!

0 komentar: