Keberagamaan Multikulturalis

SALAH satu problem keagamaan dewasa ini adalah bagaimana menyikapi ketegangan antara keyakinan agama dan tradisi kebudayaan, baik lokal maupun global. Sebagian kalangan cenderung menolak mentah-mentah apa pun yang dianggap "bukan bagian dari agama" sehingga muncul gerakan purifikasi agama.

Umumnya gerakan radikal agama berawal dari kecenderungan ini. Sayang, gerakan purifikasi agama radikal cenderung mengambil jalan kekerasan dan tidak toleran terhadap sistem etika, apalagi sistem keagamaan di luar dirinya.

Pada kenyataannya, tidak ada yang benar-benar self-sufficient dan benar-benar munri. Sepanjang sejarah, keberagamaan senantiasa mengalami dialektika antara diri dan lingkungan. Setiap manusia, seorang puritan sekalipun, pasti pernah mengalami proses menyerap apa yang ada di luar dirinya. Sulit dipahami bila ada orang yang menganggap dirinya telah beragama secara "murni", dalam pengertian tidak dipengaruhi kondisi lingkungannya.

Sebagian tampak lebih bersikap resisten terhadap tradisi, sementara sebagian lain lebih fleksibel menerima tradisi lama maupun baru. Namun, sebagai makhluk sosial, manusia pasti mengalami proses penerimaan dan resistensi sekaligus, terlepas dari apakah yang pertama lebih kuat dan lebih eksplisit dari yang kedua atau sebaliknya. Apa yang disebut peradaban Hindu, peradaban Kristen, peradaban Islam, dan sebagainya sesungguhnya bersifat multikultural, dalam arti menerima dan mengakomodasi unsur-unsur lama dan baru. Tidak ada peradaban yang benar-benar lepas dari dimensi sejarah.

Memang selalu ada nilai-nilai permanen yang diyakini dalam masing-masing agama. Begitu pula dalam agama-agama lain, harus ada sesuatu yang tetap, karena kalau tidak mengapa harus disebut Islam, Kristen, Buddha, dan seterusnya? Namun, pada saat yang sama, ada simbol-simbol dan nilai-nilai yang berubah (contingent), baik disadari atau tidak, yang diserap dan dipraktikkan kaum beragama. Dalam konteks itu, keberagamaan multikulturalis menjadi penting. Seorang multikulturalis-apa pun organisasi keagamaannya atau tanpa afiliasi organisasi mana pun-cenderung tidak melihat masalah keagamaan dan nonkeagamaan secara hitam-putih (either or not).

SEORANG multikulturalis tidak beragama secara mutlak-mutlakan. Artinya, ketika klaim kebenaran yang dianutnya dilihat dari luar, maka ia menjadi tidak mutlak. Ini bisa disebut dengan sikap keberagamaan relatively absolute-dengan mengatakan, "Apa yang saya anut memang benar dan saya berjuang untuk mempertahankannya, tetapi tetap saja relatif ketika dihubungkan dengan apa yang dianut orang lain, karena orang lain melihat apa yang saya anut dari kacamata anutan orang lain itu." Keberagamaan mutlak-mutlakan dalam banyak kasus cukup berbahaya dalam konteks interaksi antaragama dan antarbudaya. Klaim kebenaran absolut merupakan benih bagi tumbuhnya fundamentalisme radikal yang bisa membenarkan segala cara.

Selain itu, keberagamaan multikulturalis merupakan keberagamaan yang tidak kering. Kekakuan yang berlebihan dalam menjalankan agama sering menyebabkan kurangnya kesadaran spiritual. Salah satu nikmatnya beragama adalah, hemat saya, merasakan apa yang kita lakukan secara sadar dan tanpa paksaan, misalnya merasakan betapa indahnya kebersamaan dan betapa indahnya pelangi yang berwarna-warni. Protokolisme agama, rigiditas doktrin, dan birokratisme agama, merupakan ciri-ciri keberagamaan yang kering. Apabila kita dipaksa atau terpaksa dalam mengungkapkan keberagamaan kita, maka berarti kita sedang mengalami kekeringan spiritual. Dan alangkah malangnya kita bila beragama secara kaku dan kering!

Keberagamaan multikulturalis tidak melepaskan simbol, tetapi selalu berupaya melihat makna. Bagaimanapun, simbol memegang peran penting dalam setiap agama. Tanpa simbol, tidak ada agama. Namun, keberagamaan multikulturalis bergerak lebih jauh dan lebih dalam dari sekedar simbol. Ia menerima ekspresi-ekspresi keberagamaan simbolik, namun menyadari makna dari setiap simbol itu.

Ketuhanan dan kemanusiaan memang bersifat primordial, tetapi selalu ada dalam ruang dan waktu. Seorang multikulturalis memahami mengapa dia beragama dan berusaha sesuai kemampuannya untuk menjalankan agamanya, sambil menyadari kemajemukan ekspresi kebudayaan manusia.

0 komentar: