Ego dalam perdebatan Islam-Kristen

Membaca beberapa diskusi Islam-Kristen di Internet, rasanya sedih melihat realitas keberagamaan yang berkembang. Menyedihkan melihat isinya hanya perdebatan dan masing-masing mengunggulkan agamanya dengan merendahkan agama orang lain. Keadilan dan ketulusan seringkali hilang, tergantikan keinginan untuk mengalahkan argumentasi lawan diskusi.

Buat apa semua itu? Mau meyakinkan orang yang berbeda agama? Pasti tak manjur karena setiap orang tetap berada dalam keyakinannya masing-masing. Rasanya yang didapat cuma kepuasan pribadi dan semakin membangun ego saja. Bangga kalau bisa mengalahkan argumen orang lain, ngeles dan menyerang balik kalau sedang salah membuat pembelaan.

Menurutku, model diskusi perdebatan iman tak ada gunanya sama sekali, bahkan sangat buruk untuk spiritualitas orang yang terlibat. Bagaimana dengan nasib ajaran Tuhan (Islam atau Kristen) yang sedang dibela itu? Menurutku lebih tragis lagi; perdebatan itu menciptakan apriori bagi masyarakat terhadap Tuhan dan ajaran-Nya.

Iman adalah sebuah pertanggungjawaban pribadi kepada Tuhan. It’s personal. Dialog iman, dalam konteks hubungan antar-keyakinan wujudnya berupa sharing: bercerita dan bertanya; tanpa penghakiman dan pelecehan terhadap keyakinan lain. Perbedaan (jika ada) tetap dinyatakan dalam konteks keragaman dan cara pandang yang berbeda. It’s oke.

Membela Tuhan? Tidak perlu, Tuhan tidak perlu dibela. Tugas kita adalah memperbaiki spiritualitas kita terus menerus agar diri kita benar-benar menjadi rahmat bagi semesta alam. Kebenaran iman yang kita yakini secara natural akan diapresiasi orang lain kalau kita menjadi orang yang tulus, adil, penuh cinta dan pelayanan kepada masyarakat.

Apapun fitnah dan hujatan para penentang Tuhan, tak akan menodai kemuliaan Dia dan ajaran-Nya. Yang menodai ajaran-Nya adalah saat kita yang mengaku mengimani-Nya melakukan hal-hal buruk yang tak mencerminkan pengajaran-Nya.

Hermeneutika Gadamer

Beranilah berpikir sendiri. Inilah semboyan pencerahan yang legendaris. Semboyan ini menekankan peniadaan autoritas dalam usaha pencarian kebenaran karena autoritas sebagai sumber prasangka dianggap merusak rasionalitas. Prasangka, autoritas, tradisi dianggap membelokkan kebenaran sehingga pengetahuan didesak untuk dibebaskan dari segala hal tersebut. Pengetahuan harus bebas nilai. Dalam pendekatan ini tendensi objektivitas sangat kuat sementara subjektivitas dipinggirkan.
Hermeneutika Gadamer merupakan suatu kritik terhadap positivisme dengan menekankan pada subyek yang menafsirkan. Bila melihat pengertian etimologinya, hermeneutik berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang artinya mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan atau menafsirkan. Kata kerja ini terkait dengan nama tokoh mitologi Yunani yaitu Hermes yang bertugas menafsirkan kehendak dewata. Pertanyaan yang menarik apakah hermeneutik merupakan sebuah metode untuk memperoleh kebenaran yang setepat-tepatnya tentang realitas/teks ?
Pertanyaan di atas bagi saya adalah pertanyaan awal yang menarik terkait dengan problematik positivistik yang menekankan objektivitas dan mengabaikan subjektivitas. Terlebih lagi bila kita hendak memahami realitas sosial. Apakah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dalam upaya memahami realitas sosial dapat dijawab dengan fakta-fakta objektif yang murni ? Bukankah realitas sosial begitu kompleks dan memahaminya lewat fakta-fakta murni hanya akan menyederhanakannya ? Oleh karena itulah saya tertarik untuk mengkaji lebih lanjut pendekatan hermeneutik dari Gadamer. Bagaimana prinsip hermeneutika Gadamer dan apa relevansinya bagi ilmu pengetahuan di Indonesia merupakan pertanyaan yang akan menjadi fokus dari tulisan ini.

Proyek pencerahan berusaha meniadakan prasangka dimana kita diminta untuk mengesampingkan asumsi dan bias pikiran kita lalu melihat pertanyaan dan text secara baru. Semua penafsiran yang benar harus dilindungi dari khayalan-khayalan arbitrer dan pembatasan-pembatasan yang ditekankan oleh kebiasaan-kebiasaan pemikiran yang tidak bisa dipahami dan mengarahkan pandangannya terhadap sesuatu itu sendiri. Namun apakah kita benar-benar dapat melepaskan diri dari subjektivitas ? Apakah kita dapat benar-benar bebas nilai ? Apakah kita benar-benar dapat berpikir secara baru tanpa titik tolak sama sekali ? Apakah kita dapat memberi makna pada realitas/teks tanpa dibentuk oleh kesadaran kita ? Bila demikian bukankah kita hanya akan menyalin fakta dari teks atau realitas tersebut ? Gadamer melihat hal itu mustahil untuk dilakukan oleh karena pikiran kita dibentuk oleh sejarah. Ia mengkritik pendapat seperti itu sebagai prasangka melawan prasangka. Dalam hal ini ia melihat model yang anti terhadap prasangka ini dimungkinkan oleh suatu prasangka (bahwa prasangka harus diatasi). Gadamer mengacu pada konsep wirkungsgeschichte (sejarah efektif) yaitu kenyataan bahwa pengetahuan memiliki efek dalam sejarah sebab seorang peneliti kritis adalah juga seorang aktor sejarah yang menjadi bagian dalam kesinambungan proses sejarah dalam tradisinya. Dalam hal inilah ia menyinggung tentang kesadaran sejarah. Mempunyai kesadaran sejarah adalah menjelajah dengan sikap tertentu kenaifan alam yang membuat kita menilai masa lalu dengan apa yang sering disebut skala prioritas tentang masa kini, dalam perspektif institusi kita dan dari keyakinan nilai-nilai dan kebenaran kita.
Dalam mempertanyakan bagaimana memberi makna, Gadamer berkonfrontasi dengan pendahulunya yaitu Scheleirmacher dan Dilthey. Ia mengkritisi pendapat Schleiermacher yang menyatakan bahwa keasingan suatu teks bagi pembaca perlu diatasi dengan mencoba mengerti si pengarang, merekonstruksi zaman si pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang berada pada saat menulis teksnya. Menurut Gadamer, tujuan dari membaca sebuah teks adalah untuk mempelajari mengenai subyek dalam teks. Ia memberi contoh bila ia membaca biografi tentang seseorang yang bernama James Joyce yang ditulis oleh Richard Ellmann, maka ia hendak mempelajari tentang James Joyce dan bukan tentang proses mental dari Richard Ellmann. Ia juga mengkritisi pendapat Dilthey yang melihat hermeneutik sebagai metode untuk mengerti teks secara benar dalam konteks sejarahnya. Dilthey berusaha merekonstruksi makna sebuah teks menurut maksud pengarang dalam konteksnya. Menurut Dilthey, hermeneutik adalah menyusun kembali kerangka yang dibuat oleh sejarawan agar peristiwa sebenarnya dari kejadian itu dapat diketahui. Gadamer melihat bagaimana upaya Dilthey sebenarnya sia-sia karena kita tetap tidak mungkin meniadakan prasangka dan berusaha merepoduksi makna sebagaimana yang dihayati oleh si pengarang.
Disini saya melihat bagaimana Dilthey berusaha untuk menemukan arti asli dari teks lalu menampilkan kembali makna yang dimaksudkan oleh si pengarang. Apa yang dilakukannya adalah sebatas reproduksi makna. Dalam hal ini Dilthey masih terpengaruh dengan objektivisme zaman pencerahan yang berusaha meniadakan prasangka dengan hanya berfokus pada makna seutuhnya dari si pengarang. Bila makna suatu teks hanya terbatas pada makna di zaman pengarang teks, maka pertanyaan yang perlu diajukan lebih lanjut menurut saya adalah bagaimana dengan teks yang dihasilkan oleh si penafsir atau sejarawan tersebut tentang hasil penafsirannya ? Bila teks tersebut hanya merupakan pemaparan makna seutuhnya dari pengarang menurut zamannya, bagaimana kita menafsirkan atau memahami teks dari si penafsir atau sejarawan ? Bukankah tafsiran itu ia hasilkan dalam konteks zamannya yang memiliki kekhasannya sendiri ? Bila penafsiran hanya mereproduksi makna si pengarang dalam zamannya, menurut saya itu berarti teks menutup diri atau mungkin penafsiran yang kita lakukan telah membatasi teks itu berbicara bagi kita di konteks masa kini. Dalam hal ini menurut saya, suatu teks sebenarnya tidak hanya terbatas pada zamannya, tapi juga terbuka berbicara bagi masa kini. Namun menurut saya apa yang diungkapkan Dilthey mengenai historisitas suatu teks juga baik untuk diperhatikan. Teks berasal dari konteks tertentu dan oleh karena itu baik juga kita mengerti konteksnya. Hanya saja teks tidak akan berarti apa-apa tanpa dikomunikasikan dengan konteks masa kini.
Berkaitan dengan hal itu, penting bagi kita untuk mengerti apa yang ditekankan Gadamer mengenai horizon. Ia menekankan bahwa seseorang memahami menurut horizon sejarah tertentu. Horizon yang dimaksudkan Gadamer adalah bentangan visi yang meliputi segala sesuatu yang bisa dilihat dari sebuah titik tolak khusus. Kita selalu berada pada titik tertentu dan dimana kita berada selalu mempengaruhi apa yang kita lihat. Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah memperluas horizon kita seluas-luasnya serta terbuka terhadap horizon baru.
Menurut saya pendapat Gadamer tentang memperluas cakrawala pemahaman sangat penting. Proses memperluas cakrawala pemahaman dalam lingkaran hermeneutis ini tidak pernah berhenti untuk menghasilkan sebuah kebenaran objektif. Proses ini akan terus berlanjut, mengembangkan dan memperluas horizon, wawasan kita. Ketika kita berhadapan dengan orang lain cakrawala wawasan kita akan diperluas melalui interaksi dan dialog. Dengan demikian kita tidak hanya melihat atau memahami sesuatu berdasarkan satu perspektif saja yaitu perspektif kita sendiri namun kita mencoba terbuka untuk mengembangkan wawasan kita melalui dialog. Kita berdialog dengan orang lain bukan untuk memperoleh kebenaran setepat-tepatnya tetapi untuk memahaminya. Dalam upaya memaknai tradisi masa lalu, kita akan memahami dengan wawasan kekinian. Di sini jarak dengan masa lalu tidak diatasi dengan hanya mengkonstruksi kembali makna di masa lalu tetapi memahaminya dengan horizon kekinian. Dalam dialog tersebut terjadi perbenturan antara cakrawala pemikiran kita dengan orang lain. Dalam dialog ini tentunya kita juga membawa prasangka kita, namun kadangkala prasangka-prasangka kita harus disimpan untuk mencoba melihat pandangan orang lain. Pandangan orang lain ini dilihat bukan untuk dinilai sebagai hal yang buruk namun agar kita dapat memahaminya. Bagaimana dengan prasangka dan tradisi kita ? Bisa saja prasangka dan tradisi kita menjadi dominan dan kita anggap sebagai kebenaran. Dalam hal inilah kita perlu tetap untuk bersikap kritis terhadap prasangka dan tradisi. Kita perlu melihat apakah prasangka kita mengarahkan kita untuk dapat mengerti ataukah prasangka itu menyembunyikan kita dari pengertian ?
Di sini menurut saya kita juga perlu mengingat bahwa prasangka kita kadangkala tidak benar. Untuk itu yang terpenting adalah kita perlu terus memperluas horizon kita melalui dialog. Mengapa ? Hal ini berkaitan dengan konteks hidup kita yang dinamis dan kompleks. Pikiran kita dibentuk oleh konteks, tradisi yang selalu berkembang dan sedemikian kompleksnya sehingga makna yang kita berikan adalah sesuatu yang berkembang. Apa yang kita alami dalam hidup kita, apa yang kita lakukan dalam hidup tentunya akan mempengaruhi makna yang kita berikan terhadap sesuatu. Makna yang kita berikan bukanlah kebenaran yang setepat-tepatnya tetapi makna sesuai pengalaman, pembentukkan kita.

Teks yang dibaca adalah teks yang sama namun penafsiran yang dihasilkan dari teks tersebut begitu beragam. Apakah dari keragaman penafsiran itu kita harus menentukan dan mengambil satu makna yang benar objektif ? Apakah penafsiran yang benar adalah penafsiran yang menggunakan pendekatan yang ilmiah dan objektif ? Menurut saya tidak demikian. Keragaman penafsiran itu, menurut saya, memperlihatkan bagaimana konteks budaya dan pengalaman mempengaruhi penafsiran serta pemikiran kami. Keragaman pengalaman dan konteks budaya yang kemudian menghasilkan perbedaan penafsiran tidak seharusnya diatasi hanya dengan sebuah pendekatan yang objektif untuk memperoleh makna yang setepat-tepatnya. Pikiran kami dan mereka dibentuk dengan konteks dan pengalaman yang berbeda. Dalam hal ini saya setuju dengan pendapat Gadamer.
Hal yang menarik menurut saya adalah bagaimana pengetahuan kita dibentuk oleh konteks, dengan demikian sebenarnya konteks sangatlah penting untuk memahami makna. Apakah kemudian makna adalah sesuatu yang terus berubah-rubah ? dalam hal ini berubah atau tidak berubahnya makna terkait dengan konteks. Oleh karena itulah kita akan terus menerus dalam proses pemikiran yang tidak mengenal titik akhir . Menurut Gadamer kita tidak dapat melepaskan diri dari prasangka kita. Ketika kita hendak memberi makna pada sesuatu, apa yang kita pikirkan tentu terkait dengan pengalaman, tradisi dan konteks hidup kita. Dengan demikian pikiran kita sebenarnya tidak bebas nilai. Di samping uraian di atas, saya pikir kita juga perlu kritis untuk melihat bahwa Gadamer kurang menekankan bagaimana sebenarnya prasangka dan tradisi tersebut seharusnya tidak melampaui teks atau realitas yang berusaha dipahami. Kedua-duanya (prasangka/tradisi - teks/realitas) perlu diletakkan dalam posisi yang sejajar dalam proses dialog .

Menurut saya hermeneutik Gadamer cukup relevan bagi ilmu pengetahuan dalam konteks Indonesia. Dalam hal ini saya pikir sangatlah penting bagi kita untuk belajar dari Gadamer tentang bagaimana memperluas horizon, wawasan pemikiran kita lewat dialog. Terkait dengan teologi Kristen, saya melihat bahwa teologi Kristen sebenarnya tidak berangkat dari satu titik saja yaitu Alkitab tetapi teologi kristen perlu berdialog dengan kenyataan yang ada dalam konteks di Indonesia. Perlu disadari bagaimana teologi seharusnya berakar juga dalam konteks Indonesia. Teologi perlu keluar dari benteng-benteng gereja dan berusaha memahami dengan baik kenyataan sosial di masyarakat. Bila teologi hanya terkukung dalam tembok-tembok gereja maka teologi yang mengasingkan diri seperti ini tidak menjadi kabar baik/kesaksian dalam konteksnya. Teologi seperti itu cenderung menjadi teologi yang tidak membumi. Dalam hal ini, bukan jawaban dogmatis yang diharapkan dari teologi seolah-olah teologi mengetahui semua jawaban secara tepat dan menjawab dengan pendekatan top-down dalam rangka memberi atau melakukan. Namun yang perlu dilakukan adalah berdialog dengan masyarakat, peka mendengar jeritan pergumulan mereka dan berusaha memahami pergumulan mereka, lalu merencanakan dan mengerjakan bersama masyarakat. Dengan demikian teologi dibentuk oleh konteks nyata dan bukan terpisah dari kenyataan hidup masyarakat. Ini berarti teologi Kristen perlu berdialog dengan agama-agama lain, teologi perlu berdialog dengan tradisi kepercayaan dalam masyarakat, teologi perlu berdialog dengan tradisi dalam kepelbagaian budaya masyarakat Indonesia, teologi perlu berdialog dengan masyarakat yang saat ini berada dalam perubahan sosial yang serba cepat.
Dalam konteks pluralisme agama di masyarakat Indonesia, kita perlu berdialog dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama. Kita harus berani membongkar batasan-batasan yang memisahkan kita. Seringkali kita mengeluhkan status kristen yang minoritas dan dipinggirkan dalam masyarakat Indonesia. Menurut saya pemikiran seperti ini hanya akan mengasingkan kita dari sesama kita. Apakah perbedaan agama hanya dinilai secara sempit berdasarkan mayoritas dan minoritas ? Oleh karena terjebak dalam pemikiran minoritas, kita tidak berani keluar dari tembok-tembok gereja kita. Akhirnya kita hanya terkukung dalam batasan pemikiran kita saja. Batasan pemikiran yang sempit dan kita menilai segala sesuatu dari pemikiran kita yang sempit itu. Dalam hal ini, menurut saya di sinilah pentingnya kita belajar dari Gadamer tentang perlunya memperluas fusi-fusi horizon, wawasan pemikiran kita melalui dialog dengan orang lain. Apakah tujuan kita berdialog dengan sesama kita ? Apakah untuk melihat siapa yang benar atau salah ? Apakah untuk meyakinkan bahwa kita benar dan kemudian menepuk dada ? Apakah untuk meyakinkan orang lain bahwa kebenaran ada pada kita agar orang lain mengikuti kita atau dalam arti menginjili orang lain ? Dialog kita bertujuan agar kita dapat memahami sesama kita. Dalam hal ini kita perlu rendah hati mengakui bahwa pengetahuan kita terbatas dan oleh karena itu kita perlu berdialog, terbuka pada mereka agar kita memperluas wawasan pikiran kita. Bagaimana dengan kebenaran yang kita yakini ? apakah agar kita dapat berdialog dengan baik kita perlu menyimpan keyakinan kita dan memilih untuk bersikap low profile : kita semua sama, kita semua inklusif, semua agama sama saja benarnya….menekankan persamaan dan menomorduakan perbedaan ( seolah-olah identitas harus dipinggirkan, perbedaan disembunyikan). Menurut saya dalam dialog tidak berarti kita menyembunyikan perbedaan untuk mencari kesamaan universal. Kita bertemu dengan orang lain bukan tanpa pemahaman sama sekali. Dalam situasi seperti itu kita menyadari bahwa cara pandang kita bukanlah satu-satunya cara. Dengan melihat adanya sudut pandang lain atau pemahaman lain, maka kita akan melihat dengan jelas cara pandang atau pemahaman kita sendiri. Dialog yang kita perlukan adalah dialog untuk mengerti sesama kita dan saling belajar dari pandangan masing-masing. Dalam melihat pro dan kontra mengenai syariat Islam misalnya. Bila kita hanya berpikir dalam horizon tertentu saja dan enggan untuk keluar berdialog dengan sesama kita yang lebih memahami syariat Islam, maka mungkin kita akan tenggelam dalam ketakutan kita sendiri dan menilai dengan tegas syariat Islam itu negatif. Mungkin saja kita tidak setuju dengan padangan-pandangan yang menerapkan syariat Islam dalam Perda-perda. Namun bila kita menolak dan tidak setuju terhadap penerapan itu seharusnya kita berusaha untuk mengerti persoalan yang ada di balik penerapan syariat Islam tersebut. Bagaimana kita dapat sungguh-sungguh memahami persoalan tersebut ? Salah satu jalan yang ditawarkan oleh Gadamer adalah melalui dialog. Melalui dialog kita akan mencapai pemahaman. Apakah lantas ini berarti kita berhenti pada upaya memahami saja ? Menurut saya tidak demikian, kita perlu melawan tetapi melawan bukan dalam arti Kristen melawan syariat Islam tetapi kita melawan hal-hal yang menimbulkan ketidakadilan bagi siapapun dari penerapan syariat Islam dalam Perda tersebut. Namun sekali lagi tentunya dengan pemahaman yang baik yang kita peroleh lewat dialog.
Dari pendekatan Gadamer, kita diingatkan bagaimana dalam penafsiran konteks pembaca pun perlu mendapat perhatian. Menurut saya hal ini cukup penting mengingat universalitas dan objektivitas ilmu tafsir Alkitab yang kita kenal selama ini yang menekankan bahwa teks sudah mempunyai konteksnya sendiri. Oleh karena itu penafsiran hanya berangkat dari konteks masa lalu dan bila konteks masa lalu itu tidak jelas yang dilakukan kemudian adalah merekonstruksi kembali masa lalu itu. Dalam pendekatan ini tampaknya ada tendensi yang kuat bahwa dari bangunan rekonstruksi masa lalu tersebut kita akan memperoleh makna yang asli. Namun dari Gadamer kita diingatkan bahwa ketika kita berhadapan dengan teks, kita tidak mungkin melepaskan diri dari prasangka yang dibentuk dalam konteks, sejarah hidup kita. Oleh karena itu apa yang kita perlukan adalah mengakui ruang bagi partisipasi pembaca dalam memaknai teks ketika ia membaca teks. Dalam proses membaca itu akan terjadi dialog antara pembaca dengan konteks kekiniannya dan teks dengan konteksnya yang khas. Di sini makna tidak tergantung dari teks semata, tetapi makna muncul dari dialog antara teks dan si pembaca. Contohnya ketika saya membaca cerita tentang Tamar dalam kejadian 28. Saya dapat menafsirkannya oleh karena saya sudah mempunyai ide bagaimana teks itu berbicara kepada saya dalam konteks saya. Namun itu tidak berarti saya hanya melihat pikiran saya sendiri. Di sinilah terletak pentingnya kesadaran akan prasangka yang sebelumnya saya telah miliki. Kesadaran tersebut saya dialogkan dengan apa yang dikatakan teks dan mungkin saja kemudian saya menghasilkan lima kemungkinan pemahaman baru dari dialog tersebut. Hal yang penting ditekankan di sini adalah bahwa peranan sudut pandang si penafsir diakui dalam proses penafsiran teks tersebut. Namun menurut saya tetap harus juga diperhatikan agar teks itu juga dapat berbicara secara terbuka dari konteksnya. Dialog tidak akan tercapai bila teks berada pada posisi seperti tahanan dalam penjara dan kita adalah penjaganya. Dalam arti penafsir datang dengan sejumlah pertanyaan yang diajukan sementara teks hanya dapat merespon/menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diungkapkan oleh penafsir. Bila demikian yang terjadi, tidakkah kita mengaburkan makna teks ? Dalam hal ini saya melihat bagaimana seorang penafsir perlu untuk menjadi lebih sensitif.

KEBERAGAMAAN TRANSFORMATIF

“Pemujaan kepada Tuhan Yang Mahabesar diungkapkan lewat pengangkatan manusia hina ke taraf kemanusiawian yang layak, sebagaimana dirancang Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum rimba buatan manusia” ( Romo Y.B. Mangunwijaya, Pr)

Apabila ditelaah secara kritis berbagai konflik sosial bernuansa keagamaan dalam masyarakat manapun( termasuk di Indonesia), baik itu berkaitan dengan konflik antar umat yang berbeda agama dan sesama penganut agama maupun konflik umat beragama dengan golongan masyarakat sekuler, maka hal itu tidak semata-mata karena adanya kesenjangan antara nilai-nilai agama dan praktik keberagamaan umat. Seolah-olah nilai-nilai agama, seperti keadilan, kebenaran, perdamaian dan persaudaraan, adalah nilai-nilai yang tidak dapat dipengaruhi oleh aspirasi dan kepentingan tertentu. Dan karena itu apabila nilai-nilai itu diterapkan oleh para penganut agama maka dengan sendirinya tidak akan ada masalah sosial dalam kehidupan bersama. Pandangan seperti ini hanya dapat dibenarkan dalam masyarakat homogen, baik dari segi identitas kultural dan religius maupun aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan politik. Akan tetapi, dalam masyarakat heterogen seperti di Indonesia, pandangan seperti itu hanya akan mendorong proses homogenisasi penghayatan nilai yang bersifat dipaksakan. Dalam hal ini ada bahaya--- apa yang oleh Pierre Bourdieu---- sebut: kekerasan simbolik atau oleh Don Cupitt disebut: rejim kebenaran!!

Memang benar bahwa nilai-nilai agama itu dalam dirinya sendiri adalah pesan-pesan moral dan etis yang bersifat netral. Akan tetapi, setiap nilai agama dalam penghayatan hidup keberagamaan umatnya tidak lagi bersifat netral. Nilai itu sudah sangat dipengaruhi oleh aspirasi dan kepentingan penganutnya. Sebab nilai-nilai itu dalam penghayatan hidup keberagamaan umat telah menjadi nilai-nilai yang bersifat interpretatif. Penghayatan nilai keadilan dan kebenaran, misalnya, tidak akan lagi netral ketika nilai itu dihubungkan dengan aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan politik dua golongan yang berbeda dalam masyarakat. Di sini biasanya pintu masuk bagi para demagog politik dan rohani --- yang dengan agak malu-malu--- sebenarnya menerapkan logika pertentangan kelas a la marxisme ideologis (beda dari marxis-ilmiah) untuk mencapai kepentingan mereka.

Baik demagog politik maupun demagog rohani mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana dapat merebut “jiwa rakyat” untuk menjadi anggota kelompoknya demi keuntungan sang demagog itu sendiri. Mereka juga mempunyai watak yang sama, yaitu cara berpikir ideologis dan tidak tahan melihat perbedaan dalam masyarakat. Dan karena itu mereka sebenarnya anti-kemanusiaan dan pembunuh jiwa-jiwa kreatif dan dialogis dalam masyarakat. Dalam situasi seperti ini--- sulitlah kita mengikuti anjuran beberapa kalangan agar kita perlu memisahkan antara “habitat agama” dari “habitat politik”. Karena bukan saja kekuasaan politik yang dapat mengkorup martabat manusia, melainkan kekuasaan agama pun tidak kalah dasyatnya daya korupnya!! Kita tidak perlu memisahkan “agama” dan “politik” sebagai “dua habitat yang saling bertolak belakang”. Karena baik “habitat agama” maupun “habitat politik” sama-sama diperlukan oleh manusia untuk bertumbuh ke arah kehidupannya yang lebih manusiawi untuk mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai imago Dei dalam praktik hidupnya, baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial (bdk. Kej. 1: 26-27). Dalam kaitan ini, kita tidak lagi melihat “wilayah kekuasaan agama” dan “kekuasaan politik” secara antisesis dan bermusuhan, tetapi juga bukan membangun “koalisi yang murahan” yang mengabaikan harkat dan martabat manusia. Kekuasaan agama maupun kekuasaan politik haruslah menjadi kekuasaan yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk ikatan perbudakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia sebagai imago Dei tadi. Dalam pengertian seperti inilah kedua habitat yang berbeda itu----- “habitat agama” dan “habitat politik” ----- harus dilihat sebagai karunia Allah bagi manusia untuk memekarkan dirinya menjadi manusia berkeadaban secara sosial ekonomi, budaya dan politik!

Tidak adanya peranan transformatif agama-agama dalam masyarakat seperti sering dikeluhkan oleh banyak kalangan bukan karena tidak berfungsinya nilai-nilai agama, melainkan lebih pada cara bagaimana nilai-nilai agama itu berfungsi dalam masyarakat. Nilai keadilan dan kebenarannya, misalnya, dapat berfungsi secara ideologis yang membuat para penganut nilai itu hidup dalam kesadaran palsu. Pada tataran ini kedua nilai yang dalam dirinya mengandung pesan moral dan etis yang dapat memotivasi seseorang hidup sebagai pribadi yang berkeadaban dan membangun masyarakat yang berkeadaban kehilangan fungsi transformatif. Yang terjadi ialah fungsi-ideologis, yaitu berfungsi sebagai “kaca mata hitam” yang membuat individu-individu dalam masyarakat melihat realitas sosial secara samar-samar! Dan lebih celaka lagi nilai itu kemudian menjadi “gumpalan-gumpalan hidrogen” yang membahayakan “mata sosial” individu-individu dalam masyarakat. Jadi, nilai tadi justru membuat individu-individu dalam masyarakat menjadi buta dan tidak sanggup lagi melihat realitas sosial yang sesungguhnya. Di sini agama tidak lagi memainkan peranannya sebagai kekuatan sosial yang bersifat transformatif. Sebaliknya, agama berberan sebagai penghambat dinamika sosial dan pembunuh kreativitas masyarakat! Peranan agama seperti inilah yang sangat dikritik oleh Yesus. Dalam kritik Yesus yang pedas sebagaimana ditulis oleh penginjil Matius (lihat Matius 23) kita membaca bahwa agama dan hukum-hukum agama haruslah melayani kemanusiaan, dan tidak boleh mengorbankan manusia atas nama agama dan hukum-hukum agama (baca: nilai-nilai agama yang baku dan kaku).


Karena itu, ketika kita menghendaki kehidupan keberagaman kita menjadi kehidupan keberagamaan transformatif dalam masyarakat maka kita perlu memiliki keberaniaan untuk terus menerus mempersoalkan model penghayatan hidup keberagamaan kita. Kita tidak boleh puas dengan model penghayatan hidup keberagamaan yang telah ada. Sebab boleh jadi apa yang kita anggap sebagai model penghayatan hidup keberagamaan transformatif itu untuk konteks sosial ekonomi dan politik tertentu, dalam konteks sosial ekonomi dan politik yang lain tidak lagi transformatif. Malahan model penghayatan hidup keberagamaan itu telah menjadi sangat represif.

Keberagamaan transformatif adalah model penghayatan hidup keberagamaan yang memelihara tradisi kritis atau dalam idiom Biblikal disebut tradisi profetik!! Tradisi kritis atau profetik sangat penting. Sebab, seperti telah disinggung di atas, bahwa nilai-nilai agama dalam penghayatan hidup keberagamaan umat selalu bersifat interpretatif. Dan nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif itu selalu akan dipengarahi oleh aspirasi dan kepentingan penganut, baik secara sosial ekonomi maupun politik. Karena itu, tanpa tradisi kritis atau profetik, kehidupan keberagamaan akan selalu berada dalam bahaya mempertahankan status quo nilai-nilai keagamaan yang bersifat interpretatif itu dalam bentuk nilai-nilai agama yang baku dan ideologis, sifatnya. Model keberagamaan transformatif adalah model keberagamaan yang jauh dari model keberagamaan “retorika-profetik” atau “verbalisme-profetik”. Ia merupakan kesadaran religius atau kesadaran hidup meng-agama yang lahir dari pelayanan liturgis berdimensi ganda, yaitu : mengabdi kepada Allah dan kemanusiaan!! Jadi, keberagamaan transformatif dalam semangat tardisi profetik adalah model keberagamaan yang melayani Allah sepenuh hati dengan jalan mengabdikan diri sepenuhnya kepada kemanusiaan!! Itu berarti bahwa nilai-nilai agama yang bersifat interpretatif dalam penghayatan umat beragama selalu harus diuji oleh sejauh mana penghayatan itu mendorong seseorang menjadi pribadi yang berkeadaban (civilized-person) dan mendorong berkembangnya masyarakat yang berkeadaban (civilized-society). Singkat kata, model keberagamaan transformatif dalam semangat tradisi profetik adalah model keberagamaan yang memuliakan Allah dengan mengabdi kepada kemanusiaan yang konkret, bukan kemanusiaan yang abstrak secara ideologis.

Keberagamaan Multikulturalis

SALAH satu problem keagamaan dewasa ini adalah bagaimana menyikapi ketegangan antara keyakinan agama dan tradisi kebudayaan, baik lokal maupun global. Sebagian kalangan cenderung menolak mentah-mentah apa pun yang dianggap "bukan bagian dari agama" sehingga muncul gerakan purifikasi agama.

Umumnya gerakan radikal agama berawal dari kecenderungan ini. Sayang, gerakan purifikasi agama radikal cenderung mengambil jalan kekerasan dan tidak toleran terhadap sistem etika, apalagi sistem keagamaan di luar dirinya.

Pada kenyataannya, tidak ada yang benar-benar self-sufficient dan benar-benar munri. Sepanjang sejarah, keberagamaan senantiasa mengalami dialektika antara diri dan lingkungan. Setiap manusia, seorang puritan sekalipun, pasti pernah mengalami proses menyerap apa yang ada di luar dirinya. Sulit dipahami bila ada orang yang menganggap dirinya telah beragama secara "murni", dalam pengertian tidak dipengaruhi kondisi lingkungannya.

Sebagian tampak lebih bersikap resisten terhadap tradisi, sementara sebagian lain lebih fleksibel menerima tradisi lama maupun baru. Namun, sebagai makhluk sosial, manusia pasti mengalami proses penerimaan dan resistensi sekaligus, terlepas dari apakah yang pertama lebih kuat dan lebih eksplisit dari yang kedua atau sebaliknya. Apa yang disebut peradaban Hindu, peradaban Kristen, peradaban Islam, dan sebagainya sesungguhnya bersifat multikultural, dalam arti menerima dan mengakomodasi unsur-unsur lama dan baru. Tidak ada peradaban yang benar-benar lepas dari dimensi sejarah.

Memang selalu ada nilai-nilai permanen yang diyakini dalam masing-masing agama. Begitu pula dalam agama-agama lain, harus ada sesuatu yang tetap, karena kalau tidak mengapa harus disebut Islam, Kristen, Buddha, dan seterusnya? Namun, pada saat yang sama, ada simbol-simbol dan nilai-nilai yang berubah (contingent), baik disadari atau tidak, yang diserap dan dipraktikkan kaum beragama. Dalam konteks itu, keberagamaan multikulturalis menjadi penting. Seorang multikulturalis-apa pun organisasi keagamaannya atau tanpa afiliasi organisasi mana pun-cenderung tidak melihat masalah keagamaan dan nonkeagamaan secara hitam-putih (either or not).

SEORANG multikulturalis tidak beragama secara mutlak-mutlakan. Artinya, ketika klaim kebenaran yang dianutnya dilihat dari luar, maka ia menjadi tidak mutlak. Ini bisa disebut dengan sikap keberagamaan relatively absolute-dengan mengatakan, "Apa yang saya anut memang benar dan saya berjuang untuk mempertahankannya, tetapi tetap saja relatif ketika dihubungkan dengan apa yang dianut orang lain, karena orang lain melihat apa yang saya anut dari kacamata anutan orang lain itu." Keberagamaan mutlak-mutlakan dalam banyak kasus cukup berbahaya dalam konteks interaksi antaragama dan antarbudaya. Klaim kebenaran absolut merupakan benih bagi tumbuhnya fundamentalisme radikal yang bisa membenarkan segala cara.

Selain itu, keberagamaan multikulturalis merupakan keberagamaan yang tidak kering. Kekakuan yang berlebihan dalam menjalankan agama sering menyebabkan kurangnya kesadaran spiritual. Salah satu nikmatnya beragama adalah, hemat saya, merasakan apa yang kita lakukan secara sadar dan tanpa paksaan, misalnya merasakan betapa indahnya kebersamaan dan betapa indahnya pelangi yang berwarna-warni. Protokolisme agama, rigiditas doktrin, dan birokratisme agama, merupakan ciri-ciri keberagamaan yang kering. Apabila kita dipaksa atau terpaksa dalam mengungkapkan keberagamaan kita, maka berarti kita sedang mengalami kekeringan spiritual. Dan alangkah malangnya kita bila beragama secara kaku dan kering!

Keberagamaan multikulturalis tidak melepaskan simbol, tetapi selalu berupaya melihat makna. Bagaimanapun, simbol memegang peran penting dalam setiap agama. Tanpa simbol, tidak ada agama. Namun, keberagamaan multikulturalis bergerak lebih jauh dan lebih dalam dari sekedar simbol. Ia menerima ekspresi-ekspresi keberagamaan simbolik, namun menyadari makna dari setiap simbol itu.

Ketuhanan dan kemanusiaan memang bersifat primordial, tetapi selalu ada dalam ruang dan waktu. Seorang multikulturalis memahami mengapa dia beragama dan berusaha sesuai kemampuannya untuk menjalankan agamanya, sambil menyadari kemajemukan ekspresi kebudayaan manusia.

Perdamaian : Utopia atau Realita ?

Indonesia merupakan negeri yang sarat dengan konflik kekerasan. Bersamaan dengan transisi politik, semua persoalan yang dihambat atau ditekan pada masa rezim Orde Baru mengemuka. Ketidakpuasan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah tiba-tiba menemukan penyalurannya melalui cara-cara kekerasan fisik dalam bentuk amok, dan konflik komunal. Belakangan, terdapat kecenderungan menguatnya kekerasan oleh kalangan masyarakat sendiri sehingga muncul kesimpulan bahwa kekerasan yang berlarut adalah hasil reproduksi secara sosial melalui proses intemalisasi pengalaman kognitif, setelah pada periode sebelumnya kekerasan lebih didominasi oleh kekerasan negara (state-violence) yang dilakukan secara sistemik melalui institusi-institusi kekerasan. Maka, tak heran jika sampai saat ini, berbagai bentuk kekerasan terus terjadi di berbagai level masyarakat sehingga mempermudah terjadinya letupan konflik vertikal maupun horizontal.
Di satu sisi, sangat tidak mudah untuk menguraikan akar persoalan konflik kekerasan, bahkan menuntaskannya. Di sisi lain, hal ini justru memunculkan "tantangan" baru bagi kita untuk berupaya mencari jalan keluar dengan memikirkan altematif pemecahan persoalan yang sesuai dengan potensi serta komitmen yang dimiliki. Tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk mengulas satu per satu persoalan-persoalan yang berkaitan dengan konflik, krisis yang memberi "ruang" bagi munculnya konflik kekerasan, serta transisi politik yang berlangsung. Namun, menawarkan suatu agenda posisi kita sebagai peaceworker ataupun peacebuilder yang mcmiliki komitmen untuk mengupayakan altematif keluar dan konflik kekerasan, dan mendorong terbentuknya budaya damai (peace culture) sehingga memungkinkan untuk membawa potensi konflik kekerasan atau konflik kekerasan yang sudah berlangsung ke arah perdamaian yang lebih kooperatif dan positif.
Konflik dan kekerasan merupakan dua hal yang berbeda, jika "konflik" diartikan sebagai "hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki, sasaran-sasaran atau tujuan yang tidak sejalan". Sementara itu, "kekerasan" meliputi "tindakan, perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial atau lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih posisinya secara penuh", atau, " sebagai "perilaku yang melibatkan kekuatan fisik, bertujuan untuk melukai, merusak, atau membunuh sesuatu atau seseorang". Dalam tulisan ini, "konflik kekerasan" dimaksud sebagai konflik komunal yang mengakibatkan kerusakan infrastruktur ekonomi, sosial, dan politik, serta menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Di sisi lain, sebenamya konflik merupakan sebuah hal yang niscaya, oleh karena ada kecenderungan dalam setiap individu/kelompok untuk mempertahankan kepentingannya, mengedepankan persepsi masing-masing, dan memiliki nilai-nilai/ tujuan yang berbeda dalam melihat suatu persoalan, serta cara yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Persoalan menjadi lain ketika tujuan-tujuan yang "incompatible" itu saling bertentangan, dan masing-masing pihak tidak dapat mencapai suatu titik kompromi, atau lebih jauh, mencapai kesepakatan dan melakukan kekerasan sebagai ungkapan ketidaksetujuan atau sebagai perwujudan untuk memperoleh kemenangan.
Dalam suatu entitas politik bernama negara otoriter, mengandaikan adanya
"konsensus politik" antara yang memerintah dan diperintah secara sukarela adalah tidak mungkin. Pada masa Orde Baru, misalnya, hampir tidak ada mekanisme lokal untuk menyelesaikan konflik di tingkat masyarakat, oleh karena lembaga-lembaga adat sudah dihancurkan negara. Akhimya, konflik tidak diakomodasi, tidak dilembagakan. Dalam suatukonstruk negara yang ditopang oleh kekuatan modal yang eksesif dan kontrol yang dilakukan oleh aparatus ideologis dan militer, konflik yang tidak terlembaga ini menimbulkan kekerasan, berbentuk tindakan destruktif, bersifat menghancurkan, mematikan dan memakan korban.
Beragam perspektif mengenai konflik telah banyak dikemukakan oleh para ilmuwan dan praktisi. Ada yang menyatakan bahwa bahwa konflik adalah instinctual agression dari manusia itu sendiri yang necessarily evil, ada pula pendapat yang menyatakan bahwa konflik merupakan hal yang positif untuk perubahan dan/atau perkembangan masyarakat itu sendiri. Konflik dikategorikan berada dalam tiga level atau tingkatan: pertama, pada level individu, kedua, pada level masyarakat/negara, dan ketiga, pada level intemasional. Terdapat berbagai penyebab dan pemicu konflik, yang sangat kompleks dan tergantung pada level mana konflik tersebut terjadi. Yang patut diperhatikan adalah faktor-faktor di balik penyebab tersebut, apakah karena faktor individu manusia yang memiliki sifat agresif ataukah karena sifat masyarakat itu sendiri, ataukah sistem dan pola hubungan di antara mereka (baik lokal maupun intemasional).
Dari perspektif pendekatan untuk menangani konflik, terdapat tiga terminologi yang dominan dan seringkali mengundang perdebatan dalam implementasinya, meskipun satu dan lainnya tidak terlalu signifikan untuk dipertentangkan oleh karena memuat elemen-elemen yang saling melengkapi, yaitu (1) Resolusi konflik, (2) Manajemen Konflik, dan (3) Transformasi Konflik. Ketiga model pendekatan tersebut acap juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses, dimana satu tahap akan melibatkan tahap sebelumnya, misalnya tahap "resolusi konflik" akan mencakup tindakan-tindakan "pencegahan konflik" atau "conflict prevention".
Belakangan, istilah "resolusi konflik" termasuk yang seringkali digunakan oleh berbagai kalangan baik pada tataran akademik maupun praktis. Isu di balik perbedaan pendapat itu misalnya, dipicu oleh penilaian bahwa "resolusi" konflik mengesankan suatu pendekatan yang "ambisius" jika tidak dapat dikatakan "arogan", seolah terdapat suatu pendekatan yang manjur bagi penyelesaian suatu konflik. Padahal, suatu konflik hampir-hampir tidak bisa diselesaikan secara utuh/sepenuhnya.
Jika dilihat dari nature of conflict, misalnya perbedaan dalam intensitas kepentingan di antara kedua pihak yang berkonflik, maka pendekatan yang lebih "masuk akal" adalah conflict transformation, yaitu mentransformasikan atau menggeser konflik dari tingkat/level yang "mematikan" menuju kepada suatu kondisi yang dapat dikembangkan dengan suatu kerjasama di antara pihak-pihak yang bertikai. Mekanisme utamanya adalah mengalihkan energi masing-masing pihak yang berkonflik kepada situasi baru, dengan mengakui keberadaan konflik dan mengikuti dialektikanya secara alamiah, sehingga tingkat konflik bisa diturunkan dari kondisi waging war sampai kepada kerjasama sampai tercapainya suasana damai. Dalam konteks ini, konflik bukan merupakan suatu keadaan yang isolated, tanpa sebab dan proses. Karena itu konflik selalu melewati siklus yang terdiri dari indikasi awal timbulnya konflik, eskalasi permasalahan, puncak konflik, penurunan konflik, dan keadaan pasca konflik. Pada situasi pasca konflik, tidak tertutup kemungkinan berulangnya eskalasi konflik, tergantung sejauh mana tingkat hostilities yang ada. Selain itu, pendekatan yang lain adalah "conflict management". Istilah manajemen konflik merupakan suatu konsekuensi atas asumsi bahwa konflik itu merupakan suatu hai yang natural di dalam diri manusia, sehingga yang paling penting adalah bagaimana mengatur konflik tersebut untuk tidak masuk ke ambang kekerasan senjata.
Konflik kekerasan di Indonesia berlangsung bersamaan dengan proses transisi politik setelah krisis finansial yang parah tahun 1997. Namun, jauh sebelumnya, berbagai konflik kekerasan/"violent conflict" telah muncul sejak era prakolonial, kolonial, maupun masa Orde Baru dan periode "reformasi". Beberapa studi telah menunjukkan bahwa basis-basis konflik kekerasan sudah "terlanjur" berurat-akar pada berbagai level, terutama pada level komunal. Inti berbagai kajian itu mencakup identifikasi akar konflik, aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, serta prospek untuk mewujudkan situasi non-konflik, status quo, maupun usulan rekonsiliasi dan perdamaian jangka panjang. Catatan sejarah itu menunjukkan "keakraban" masyarakat Indonesia dengan kekerasan dalam berbagai bentuknya: struktural, simbolik, dan fisik, sehingga negeri ini sempat mendapat julukan "a violent country/culture".
Analisis terhadap akar konflik di Indonesia oleh Colombian dan Lindbland menunjukkan, kekerasan muncul di setiap level masyarakat jajahan, oleh politik kolonial (kasus "urang Rantai" di tambang Ombilin; pemberontakan Haji Hasan di Cimareme terhadap Polisi Kolonial, dan kekerasan di kawasan perkebunan Sumatra Utara). Pada masa itu, kekerasan digunakan oleh negara sebagai suatu instrumen untuk mengalahkan warga masyarakat sendiri, jika pemerintah "absen" dari penggunaan kekuatan paksaan. Kunci untuk memahami kekerasan di Indonesia paska Orde Baru, menurut Lindbland dan Colombijn, adalah dengan memperbandingkannya dengan kasus-kasus kekerasan lain: (1) dengan kasus-kasus lain di Indonesia yang terjadi pada waktu yang bersamaan; (2) dengan kekerasan yang terjadi di negara lain; dan (3) dengan kekerasan yang terjadi di masa lalu. Colombijn dan Lindbland tidak sepakat dengan pendekatan yang hanya membatasi pada Orde Baru sebagai pangkal segala bentuk konflik kekerasan yang terjadi sekarang.
Sementara, dari sudut sejarah geopolitik internasional, Mark Mazower memotret kekerasan di negara-negara pada abad keduapuluh sebagai akibat dari sisi perubahan konteks internasional dalam negara-negara di abad keduapuluh. Dalam "Violence and The State in Twentieth Century" Mazower menyebutkan: "[not] long ago, modernization was thought to lead to prosperity, social -welfare, and stability. When historical sociologists in particular sought to explain episodes of political violence along the path (or paths) to the modern era, they tended to see these as temporary. Both Barrington Moore and Charles Tilly, for instance, stressed the role of coercion and social conflict in modernisation, but only as elements in a process of transition. Of late, however, violence has moved center stage, and the twentieth century is increasingly characterized by scholars in terms of its historically levels of bloodshed". Dari sisi lain, Collins justru mempertanyakan keabsahan klaim bahwa kekerasan merupakan "budaya" Indonesia, dan mengajukan argumen bahwa klaim tersebut semata-mata ditujukan untuk melegitimasi kembalinya state-sponsored violence.
Dengan melihat beberapa sorotan terhadap konflik kekerasan di Indonesia di atas, maka wajar lah jika akhirnya di kalangan masyarakat muncul keragu-raguan bahkan sikap skeptis terhadap alternatif untuk keluar dari konflik kekerasan, jika menyimak catatan tentang konflik dan kekerasan di Indonesia. "[s]udah biasa, kak, di sini kalau satu orang mati ta'ada artinya, kami mengungsi karna tak tahu harus tinggal di mana lagi, di kampong mana, di sini saja ditolak" .
Perdamaian: Utopia atau Realita
Di sisi lain, masyarakat masih menginginkan damai. "Damai" merupakan persyaratan mutlak bagi setiap manusia yang menginginkan rasa aman. Tanpa itu, tidak mungkin seseorang atau sekelompok orang, baik dari unit terkecil dalam masyarakat ataupun bahkan dalam negara, dapat memenuhi kebutuhan sosial, politik dan ekonominya dengan baik. Di satu sisi, ada pihak-pihak yang menarik keuntungan dari sebuah "absence of peaceful situation", oleh karena mereka sangat berkepentingan terhadap "ketersediaan" konflik yang berlarut-larut, dan mayoritas berbentuk kepentingan ekonomi dan/atau politik. Di sisi lain, konsep "damai" pun ternyata kontekstual, jika diletakkan dalam situasi tertentu. Yang dimaksudkan dengan situasi damai dalam tulisan ini, oleh karenanya, bukan sekedar dalam makna yang negatif, relatif tanpa gejolak, atau tanpa konflik. Namun lebih dari itu, sebagai salah satu tujuan dari penanganan konflik. Saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut sebagai pengantar diskusi: (1) Mengapa perlu situasi damai?; (2) Apakah perdamaian sebagai prekondisi bagi rasa aman, yang merupakan hak dasar warga negara telah terpenuhi?; (3) Bagaimana mencapai situasi damai yang "sustainable", apakah faktor pendukung dan penghambatnya?; (3) bagaimana tanggungjawab negara, sekaligus stakeholders di dalam negara?
Paul Wehr, dalam "The Development of Conflict Knowledge" menyebutkan bahwa pada periode sepanjang abad -19 dan 20, kesadaran manusia tentang bagaimana suatu konflik muncul, di samping upaya-upaya untuk menanganinya dengan cara-cara yang konstruktif, semakin bertambah melalui, pada level abstrak dan dan formal, pendidikan di sekolah, forum seminar, dan pelatihan. Di Indonesia, studi untuk menelaah, mengidentifikasi, dan merumuskan usulan atau rekornendasi mengenai penyelesaian kasus-kasus konflik dilakukan baik oleh universitas, lembaga-lembaga penelitian dalam negeri dan intemasional, lembaga swadaya masyarakat, serta muncul dari kalangan pemerintah sendiri.
Oleh Wehr, "gerakan" di atas digambarkan sebagai bukan hanya sekedar "merefleksikan keingintahuan manusia terhadap persoalan konflik" dan bagaimana mewujudkan perdamaian, tetapi lebih jauh, hal ini menggambarkan proses pencarian suatu solusi terhadap semakin bertambahnya skala dan biaya dari konflik antar manusia. Situasi chaos politik, ekonomi, sosial, budaya di Indonesia yang berlangsung sejak 1997, bahkan yang telah memiliki potensi laten pada periode jauh sebelumnya, merupakan "arena" bagi pertarungan kepentingan antar individu maupun antar kelompok dalam negara. Kasus-kasus konflik kekerasan yang menelan kerugian berupa jiwa manusia, harta benda, dan efek kejiwaan berupa trauma telah membuktikan hal itu. Maka, ungkapan Wehr tentang "proses pencarian solusi" di atas sangat tepat jika dikaitkan dengan berturnbuhnya kesadaran berupa upaya-upaya untuk menyelesaikan konflik kekerasan di Indonesia yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Selain itu, upaya untuk menangani persoalan konflik sebenarnya justru tergantung dari pihak-pihak yang berkonflik, korban dari peristiwa konflik itu sendiri, di luar kalangan yang selama ini sering diberi atribut "kelompok masyarakat sipil" yaitu kalangan LSM dan mahasiswa.
Salah satu pertanyaan penting muncul berkaitan dengan "pelibatan pihak-pihak yang berkonflik dalam skema resolusi konflik". Asumsinya, jika dilihat dari sisi pemicu dan/atau pelaku konflik, resolusi konflik yang dilakukan melalui kesepakatan-kesepakatan damai, difasilitasi oleh dialog, tidak akan banyak berarti jika aktor-aktor yang terlibat konflik tidak disertakan untuk membangun situasi damai yang berkelanjutan ("sustainable peace building"). Namun, hal ini pun menyisakan sebuah dilema baru. Bagaimana mendesakkan suatu agenda damai melalui perundingan jika negara tidak dapat bersikap adil terhadap pihak-pihak yang dianggap musuh? Sementara, negosiasi mensyaratkan posisi setara bagi kedua pihak yang hendak melakukan negosiasi. Dalam konteks transisi politik, ini bukan hal yang mudah mengingat kalangan "civil society" sendiri dalam keadaan terpecah belah, dan demokratisasi masih berlangsung.
Apa yang Mungkin Dilakukan?
Dalam konteks ini, diperlukan upaya menelusuri kembali langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuan perdamaian, terutama dalam konteks pemenuhan hak warga negara akan rasa aman, serta melihat bagaimana upaya untuk mewujudkan mekanisme penanganan konflik, dan signifikansinya untuk mendorong ke arah perdamaian jangka panjang di Indonesia. Apakah kita memiliki alternatif "perdamaian", yang dimaksudkan bukan dalam pengertian "negative peace" yang berbentuk sekedar penghentian kekerasan, melainkan "positive peace" yang disertai partisipasi langsung dari masyarakat untuk mewujudkannya? Pendekatan penanganan konflik manakah yang paling sesuai jika melihat pada kecenderungan bertarutnya konflik,terutama jika melihat akibat yang ditimbulkannya?
Pandangan jangka panjang terhadap konflik itu sendiri setidaknya tergantung pada dua variable: keseimbangan kekuatan, serta kesadaran terhadap keberadaan kelompok-kelompok kepentingan dan kebutuhan mereka yang terlibat konflik; dan pendekatan terhadap penanganan konflik seperti telah disebutkan di muka. Proses penanganan konflik dan upaya untuk mencapai perdamaian dapat dipahami dalam konteks tersebut. Dalam hal ini, peran peace builder terutama diharapkan muncul dari kalangan civil society, atau individu-individu yang memahami persoalan, dan mampu menganalisis dengan jernih setiap konflik yang terjadi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Kita dapat memposisikan diri sebagai pihak yang memberikan analisis/konsultasi, langsung melakukan advokasi, atau melibatkan diri sebagai "third party" dalam skema mediasi dan/atau negosiasi, dengan persyaratan kondisi relasi yang seimbang di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Sebagai kesimpulan, tujuan utama dan proses pembangunan situasi damai adalah untuk merestrukturisasi hubungan-hubungan sosial yang telah rusak; dan, lebih jauh lagi, menghasilkan sebuah mekanisme penanganan konflik yang adil dan damai, dengan memperhatikan aspek-aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya yang meliputi lokus konflik tersebut. Dari sisi pandang seperti ini, mengedepankan dan membuka potensi konflik laten bukan merupakan "provokasi" atau "menambah" konflik, melainkan merupakan bagian dari proses perdamaian yang lebih luas.