Penyerangan Satpol PP ke Kantor PGI Bentuk Fasisme Negara Bubarkan Satpol PP, Preman Berseragam Aparat Sipil dan Berkarakter Militer! Lawan Fasisme Negara! Dua kali kantor Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan sekretariat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dihancurkan semena-mena dan membabi buta oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Peristiwa ini berbuntut dari keberatan para pedagang kaki lima (PKL) bersama pa
ra mahasiswa dan warga setempat di sekitar jalan Salemba Raya dan RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM), atas penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Pusat. Para PKL menolak penggusuran semena-mena itu dengan melawan, sehingga bentrok fisik tidak terhindarkan. Lokasi PKL di sekitar kampus Universitas Kristen Indonesia, Universitas Persada Indonesia-YAI, Universitas Indonesia, dan RSCM, di jalan Diponegoro atau pertigaan lampu merah jalan Salemba Raya dan sekitar Kramat Raya, sudah berlangsung puluhan tahun. Selama masa itu, upaya-upaya penggusuran pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Pusat, namun tidak pernah berhasil. Perlawanan para PKL bersama para mahasiswa dan warga setempat terhadap penggusuran di lokasi itu terus dilakukan. Suatu kali, mobil Satpol PP pernah dibakar massa. Mahasiswa dan warga setempat memandang bahwa keberadaan PKL di wilayah itu sangat dibutuhkan. Selain terjangkau, komoditas yang diperdagangkan cukup murah. Selain itu, cara-cara Satpol PP dalam melakukan penggusuran tidak mengindahkan hak-hak warga negara. Satpol PP sering melakukan tindak kekerasan dengan berbagai varian, seperti perusakan, perampasan, pembajakan/pemungutan liar, kekerasan fisik, dll. Intinya, keberadaan Satpol PP di daerah tersebut membuat muak para PKL, mahasiswa, dan warga setempat. Tingkah mereka pantas disejajarkan dengan preman-preman pasar, namun berseragam aparat sipil bagian dari jajaran birokrat pemerintah daerah. Peristiwa ini juga berkaitan dengan Perda No.8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta (Perda Tibum), selain persoalan sengketa tanah PGI-GMKI dengan pihak lain. Namun, awalnya adalah rencana penggusuran di wilayah itu (Salemba dan Keramat Raya) karena dianggap melanggar Perda Tibum. Penggusuran di kawasan ini dibiayai APBD DKI Jakarta sebesar Rp68,225,000 (APBD DKI Jakarta 2008). Di sekitar wilayah tersebut, menjelang penggusuran, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Pemerintah Kota Jakarta Pusat memasang puluhan spanduk berisi bahwa para PKL di wilayah Jalan Diponegoro-Salemba tidak boleh berjualan atas nama penegakkan Perda Tibum. Beberapa spanduk berhasil dicabut dan dicorat-coret oleh warga sekitar karena kebijakan penggusuran atas nama Perda Tibum memang tidak memihak PKL. Sebagian besar substansi Perda Tibum meminggirkan dan memidanakan rakyat miskin yang berada di Jakarta. Hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yang sangat mengedepankan hak asasi manusia semua warga negara. GMKI Jakarta yang memotori perlawanan ini memasang spanduk di depan sekretariatnya berisi penolakkan terhadap pemberlakuan Perda Tibum karena melanggar hak asasi manusia di malam sebelum peristiwa penyerangan pertama terjadi. Saat itu, rencana pemasangan terhalang oleh kehadiran beberapa petugas Pol PP yang memaksa teman-teman GMKI Jakarta untuk tidak memasangnya. Namun, karena pemasangan spanduk masih di wilayah sekretariat GMKI Jakarta, bukan di tempat atau fasilitas umum, para petugas Pol PP tersebut mengalah. Pagi harinya, para komandan lapangan yang melihat spanduk yang sudah terpasang dan sudah runtuhnya tembok yang memagari tanah sengketa di samping Sekretariat GMKI Jakarta, marah dan coba memobilisasi sebanyak mungkin Pol PP untuk menurunkan spanduk penolakan Perda Tibum dan menyerang teman-teman mahasiswa. Siang hari upaya paksa penurunan spanduk penolakan Perda Tibum, meskipun di wilayah sekretariat GMKI Jakarta, dilakukan dengan memobilisasi ratusan Pol PP yang sudah siap dengan perlengkapan perang mereka. Bentrokan pun terjadi. Salah satu komandan lapangan Satpol PP menginstruksikan pasukannya untuk menyerang ke dalam Sekretariat GMKI Jakarta dan kantor PGI. Ritual kekerasan yang selama ini dilakukan Satpol PP saat penggusuran dan penangkapan rakyat miskin diperlihatkan jelas di sini. Para komandan lapangan juga diberi wewenang menggunakan senjata api. Mereka sering berperilaku bak koboi kesetanan yang menodongkan senjatanya ke arah massa yang menolak penggusuran, bahkan saat negoisasi berlangsung. Aparat Fasisme Negara Tindakan kekerasan Pol PP yang diinstruksikan secara lembaga oleh Satpol PP dan pemerintah kota dan daerah DKI Jakarta pada penyerangan sekretariat GMKI Jakarta dan kantor PGI, juga tindakan kekerasan yang dilakukan selama ini, menunjukkan karakter fasistik. Dalam konteks ini, fasisme negara diperlihatkan gamblang oleh pemerintah daerah Jakarta yang mengingkari perbedaan kepentingan secara represif. Bahasa pemerintahan fasisme adalah militerisme comberan yang sibuk mengatur warga dengan pemukul, pisau, atau pistol. Fasisme dalam sejarahnya merupakan metode pengamanan prestise, kekuasaan, dan modal. Begitu pun, Pemda DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat dalam agenda pengamanan ini menciptakan institusi, seperti Satpol PP untuk menjalankan teror dan kekerasan dengan tujuan membatasi kedaulatan warga kota meski bertentangan dengan aturan hukum yang ada. Pada saat ideologi fasis subur di Eropa, Pemerintah Perancis membentuk polisi sipil (sering mendapat predikat polisi modal) yang dinamakan Gendarme. Kesatuan polisi sipil ini berfungsi untuk penegakan ketertiban umum dan menjadi bagian dari angkatan bersenjata Perancis. Institusi ini sering digunakan sebagai kelompok pemukul terhadap mereka yang menentang fasisme negara. Antara Satpol PP dan Gendarme (semakin) mirip. Tindakan kekerasan yang sering dilakukan Satpol PP terhadap kelompok-kelompok yang diidentifikasi penguasa sebagai oposan merupakan tindakan pidana dan seharusnya mendapat tindakan hukum yang tegas. Namun, karena fasisme sudah menjangkiti negara, maka tindakan kekerasan negara itu tidak pernah diproses hukum. Persoalan ini menunjukkan ke salah satu karakter fasisme, yakni tindakan dan kebijakannya menentang hukum dan ketertiban konstitusi dan aturan internasional yang sejalan dengan kemanusiaan. Para Pol PP yang dituntut memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta atas perintah atasan membuat dasar tindakannya tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimana. Dekredibelisasi Kepolisian Peristiwa penyerangan Satpol PP terhadap sekretariat GMKI dan kantor PGI mempertanyakan peran pengamanan masyarakat yang selama ini dijalankan oleh Kepolisian. Penyerangan Satpol PP terhadap warga negara yang selama ini dilakukan dibiarkan oleh Kepolisian. Bahkan, proses penyidikan oleh Kepolisian terhadap kasus-kasus pidana yang dilakukan Satpol PP juga dibiarkan. Padahal melihat tindakan Satpol PP selama ini melebihi wewenang Kepolisian. Seakan, kredibilitas Kepolisian di bawah struktur Satpol PP yang perekrutannya pun asal-asalan. Bahkan, di beberapa waktu, bentrokan antara pasukan Kepolisian dengan Satpol PP pernah terjadi saat penggusuran. Hal itu pun tidak pernah ditindak-lanjuti oleh Kepolisian. Kepolisian seharusnya tunduk pada konstitusi negara yang menjamin keamanaan, kebebasan berpendapat, dan kesejahteraan warga negara, bukan kepada kaum pemodal yang menyetir pemerintah. Posisi Satpol PP dalam hal ini adalah pengaman modal dan fasisme adalah metode yang paling tepat mendukung pengamanan tersebut. Ini bentuk pelecehan struktural terhadap institusi Kepolisan Republik Indonesia yang seharusnya berwenang daulat tanpa diintervensi oleh Satpol PP.

0 komentar:
Posting Komentar