Tawuran, Pantaskah ?

Tawuran antar mahasiswa rupanya telah mendarah daging bagi sebagian kaum intelektual bangsa ini. Tengoklah apa yang dilakukan oleh oknum mahasiswa Universitas Nusa Cendana Kupang. Mereka justru terlibat baku hantam antara gen intelektual dalam bingkai kebanggaan satu almamater. Parahnya,kejadian ini bukanlah kejadian pertama yang terjadi,sudah banyak peristiwa serupa yang berkecamuk di sana. Pascareformasi tahun 1998, geliat eksistensial mahasiswa di negeri ini kerap kali abnormal,keluar dari jalur idealisme malah berlari ke arus pragmatisme. Mahasiswa kini justru lebih terjerembab dalam kesalahan berpikir akan eksistensinya sebagai mahasiswa itu sendiri.

Kita sering kali lupa bahwa status mahasiswa adalah amanat orangtua,bahkan bangsa Indonesia yang sedang terpuruk ini. Tengoklah hasil rapid assessment yang telah dilakukan Depdiknas dan Bank Dunia pada 2001 lalu.Setidaknya,pada 2015 nanti jumlah manusia Indonesia yang dapat mengenyam pendidikan tinggi hanya sekitar 25% dari sekitar 254,2 juta jiwa masyarakat Indonesia. Dengan demikian, mahasiswa adalah kaum minoritas yang diharapkan memberikan perubahan di negeri yang kita cintai ini (ngampus.com)

Tawuran antarmahasiswa dalam satu almamater yang sering terjadi tentu menyingkirkan asa tentang peran perubahan kaum minoritas tersebut. Bagaimana mungkin mentransformasi pengetahuan dan perilaku intelektual jika mengurus emosi dalam dirinya saja tidak becus? Benar, masa mahasiswa adalah masa yang labil, di mana aras berpikir kerap tidak berpijak pada aras rasional yang konstruktif.

Erick Erickson dalam bukunya Youth, Crisis and Identity berpendapat bahwa usia muda adalah tahapan pencarian jati diri yang sering luput bahkan meluputkan diri dari proteksi orangtua. Erickson juga berujar jika tahapan paling utama masa muda adalah ketika mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Jika kita tarik garis historis ke belakang, tahapan pencarian jati diri kaum intelektual inilah yang justru menjadi “amunisi” untuk bergeliat memajukan bangsa.Tengoklah bagaimana kaum muda angkatan 1928 dan 1945 riuh dalam kebersamaan untuk mengikat persatuan bangsa dalam asa memerdekakan Indonesia ini.

Lihat juga angkatan 1945 dan 1966 yang begitu powerful menendang kekuasaan otoritarian rezim Orde Lama dan Orde Baru hingga kita dapat mengenyam hembusan angin reformasi seperti sekarang. Terkait peristiwa Undana beberapa hari lalu, setidaknya menjadi bukti embusan idealisme itu kian menjauh dari kehidupan generasi muda negeri ini.Patutlah kita prihatin melihat geliat mereka yang menyerahkan diri dalam kerangkeng emosi yang dekonstruktif. Masyarakat tidak membutuhkan tawuran,kekerasan,atau lainnya,justru mereka membutuhkan angin perubahan dari proses transformasi pengetahuan dan perilaku intelektual demi kemajuan bangsa ini. Dan, kita mahasiswa yang bertindak sebagai subjeknya!

Budaya Kekerasan Merecoki Nalar

“ Aktifitas perkuliahan di kampus Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang dan Politeknik Negeri Kupang diliburkan selama sepekan.
Ini dilakukan setelah terjadi tawuran antarmahasiswa yang menewaskan Sisilia Radja (18), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta melukai sedikitnya 15 orang, termasuk dua anggota Polres Ko
ta Kupang.
Meski diliburkan, puluhan mahasiswa yang sebelumnya bertikai masih terlihat siaga di kampus masing-masing. "Kami hanya berjaga-jaga, jangan sampai ada serangan susulan," kata seorang mahasiswa Politeknik yang minta namanya tidak ditulis, Selasa (18/11).(www.okezone.com) ”

“ Rektor Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Prof Ir Frans Umbu Datta M App, ScPhD menegaskan, mahasiswa Fakultas Hukum Undana yang terlibat dalam tawuran dengan mahasiswa Politeknik Kupang pada 17 November lalu, akan diproses hukum dan dipecat dari perguruan tinggi tersebut.
Ia mengemukakan hal itu setelah memimpin rapat dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undana, Dekan Fakultas Hukum Undana, Dr Alo Sukardan SH MHum, Direktur Politeknik Kupang, Bekak Kolimon MT serta PR III Undana, Dr Os Eoh SH MS untuk mencari solusi dalam mengatasi aksi tawuran antara mahasiswa Politeknik Kupang dan mahasiswa Fakultas Hukum Undana pada Senin (17/11) lalu.
Menurut Rektor Undana Kupang, solusi awal yang akan diterapkan berkaitan dengan aksi tawuran antarmahasiswa tersebut adalah dengan membatasi akses mahasiswa Politeknik ke dalam lingkungan kampus Undana Kupang. Tawuran yang terjadi pada 17 November lalu di dalam kompleks Undana Penfui Kupang, menurut dia, akibat ulah mahasiswa yang belum dewasa dalam menata dirinya sebagai seorang intelektual. Politeknik sebelumnya merupakan bagian dari Undana Kupang, namun mulai 2004 lembaga pendidikan tersebut mulai berdiri sendiri sehingga tidak lagi menjadi bagian dari Undana.
Direktur Politeknik Kupang, Bekak Kolimon ketika ditanya wartawan soal tindakan akademis yang akan diberikan kepada mahasiswanya mengatakan, prinsip tindakan akademis sama dengan apa yang diterapkan Undana. (www.mediaindonesia.com) ”

“ Secilia Radja (18), mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, tewas dalam tawuran antarmahasiswa Politeknik dan Fakultas Hukum Undana Kupang.Sementara itu, dua anggota Satlantas Polresta Kupang juga terkena lemparan batu dari para mahasiswa yang sedang berkecamuk di Kompleks Kampus Undana Penfui Kupang ketika bersama satuan polisi lainnya yang tengah mengamankan situasi pada saat itu.
Secilia Radja, mahasiswa semester I FISIP Undana Kupang ini diduga kuat terkena serangan jantung ketika kondisi tubuhnya tak sanggup melihat aksi mahasiswa yang saling berkejaran sambil melemparkan batu dan benda keras lainnya ke arah sasaran.
Gedung FISIP Undana Kupang letaknya tidak jauh dari Gedung Fakultas Hukum yang diobrak-abrik oleh mahasiswa Politeknik Undana ketika melakukan serangan membabi buta ke kompleks fakultas tersebut. (www.metrotv.com) “

Kali ini kembali mahasiswa Indonesia bikin berita. Bukan berita tentang keberhasilan bidang ilmu pengetahuan yang memang menjadi kebanggan sebagai mahasiswa, tetapi berita tentang kekerasan. Belum hilang dalam ingatan kita bagaimana kekerasan yang terjadi di Kampus IPDN, yang kemudian disambung dengan kekerasan di Kampus UISU, kali ini kekerasan kembali terjadi di Kampus Universitas Nusa Cendana.

Kata tawuran sangat terkenal di era 90an sampai sekarang, namun tawuran disini identik dengan anak anak sekolah atau anak anak SMU. Entah kenapa akhir akhir ini, mahasiswa pun ikut ikutan terlibat tawuran. Mahasiswa yang seharusnya bisa lebih menjaga emosi malah menjadi tidak terkendali emosinya.

Melihat gambaran diatas, bangsa Indonesia saat ini memang sedang dalam keadaan benar benar sakit. Bahkan sakitnya sudah sangat akut dan perlu segera opname. Mahasiswa sebagai kaum intelektual saja sudah tidak mampu menjaga intelektualitasnya dalam menghadapi masalah, apalagi dengan masyarakat awam? Mahasiswa saja tidak mampu memecahkan masalah dengan cara elegan, bagaimana dengan masyarakat awam? Lalu apa yang bisa kita harapkan dari mereka para mahasiswa ini? Memang tidak semua mahasiswa seperti itu, masih banyak juga kita mendengar mahasiswa Indonesia berprestasi di ajang Internasional. Namun alangkah manisnya jika jejak rekan rekannya yang berprestasi ini ditiru oleh mahasiswa yang lain. Untuk berprestasi tentu yang diadu adalah otak bukan otot.

Pengenalan budaya argumentasi, berpikir logis, dan mengedepankan rasio secara kritis di kampus akan membawa iklim kondusif dalam demokrasi bagi masyarakat Indonesia. Negara demokrasi yang telah matang dipimpin oleh tokoh-tokoh yang di lingkungan kampus mengenal ketiga nilai tersebut.

Komentar orang-orang yang peduli :

Hebat hebat...calon preman indonesia....mentalnya cuma tawuran sudah keluar saja dari universitas...kasihan tuch orang tua susah payah cari uang buat nguliahin eh...alah...anaknya tawuran pakai batu, pisau....malu-maluin saja... para dosen n polisi kalau baca nich komentar tindak tegas ya mahasiswa yg tidak bisa kasih contoh bagus....sudah sebel lihat muka mereka yg sok hebat......

Gagalnya para dosen dalam mendidikan para mahasiswa....apa arti demokrasi yg diperjuangkan oleh para saudaramu...yg meninggal karena demokrasi...dikejadian tahun 1998. Sudah waktunya polisi turun tangan dan memberi hukuman oleh pelaku kriminal yg berkedok mahasiswa....bukan mikir pelajaran lha kok jadi mikir tawuran calon preman kok bisa kuliah lagi segitu susahnya.....kasihan dech lu yg ngaku mahasiswa yg kerjanya cuma tawuran....

mahasiswa tawuran???!!!! Berita yang sangat mencoreng dunia pendidikan tinggi. Semakin tinggi sekolahnya semakin bodo.....Ini juga bisa menjadi indikasi untuk menilai mutu pendidikan di NTT khususnya.

akibat dari reformasi yg kebabelasa.tokoh2 yg dulu memperjuangkan reformasi hanya diam dan hanya memikirkan kekuasaan.

Turut berduka cita atas meninggalnya Secilia Radja..... FISIP menangis.......

Akankah terus berlangsung ?

Renungan Natal

Seorang bapak setengah baya bekerja pada sebuah perusahaan kereta api, dan tugas bapak ini mudah saja. Beliau hanya bertugas menarik sebuah tuas yang mengerakkan roda roda raksasa yang saling berhubungan untuk mengangkat jembatan yang merintangi jalan kereta api, sehingga kereta api tersebut dapat lewat dengan selamat. (artinya: jika jembatan tersebut tidak diangkat, maka kereta api itu akan mengalami kecelakaan yang sangat hebat). Bapak ini mempunyai seorang anak satu satunya yang sangat dikasihi dengan segenap jiwanya. Pada suatu hari, anak bapak ini mengunjungi bapaknya dan bapaknya membiarkan anaknya itu melihat lihat tempat kerjanya. Sewaktu anak ini menghampiri roda roda raksasa tersebut, tiba tiba sang anak terpeleset dan jatuh diantara roda roda raksasa tersebut, malang baginya, kaki anak kecil tersebut terjepit dengan eratnya diantara gerigi roda roda raksasa tersebut.

Demi melihat kaki anaknya terjepit diantara roda roda raksasa tersebut, sang bapak dengan serta merta berusaha menolong melepaskan kaki anak tersayangnya itu dari jepitan gerigi roda2 tersebut namun setelah berusaha sekian lama, sang bapak ini masih belum bisa melepaskan kaki anaknya tersebut hingga sang anak mulai menangis karena ketakutan.

Tiba tiba dari kejauhan terdengarlah secara samar samar suara peluit kereta api memberi tanda agar jembatan itu harus segera diangkat. Hati bapak ini menjadi sangat sedih dan ketakutan, namun dalam kecemasannya itu dia masih tetap berusaha melepaskan kaki anaknya, tapi tetap tidak ada hasilnya.

Tidak lama kemudian suara peluit kereta api tersebut terdengar lagi semakin jelas dan semakin dekat. Hati bapak ini seketika menjadi hancur. Dia mulai menangis dengan sedihnya. Didalam hati bapak ini muncul suatu keraguan; haruskah dia mengorbankan anak satu satunya demi menyelamatkan kereta api itu - yang penumpangnya tak ada satupun yang dia kenal? Namun jika dia memilih untuk menyelamatkan anaknya, maka berapa jiwa yang akan melayang dengan sia sia hanya gara gara satu orang saja....????

Pada saat hati Bapak itu tidak menentu, secara perlahan lahan dan dengan tangan gemetar dia mencium kening anaknya dengan penuh kasih sayang dan dengan hati yang sangat hancur, lalu bapak ini mulai berdiri dan menuju ke tuas pengangkat jembatan tersebut. Dengan air matanya yang membasahi sampai kebajunya, sang bapak ini melihat sekali lagi pada anak satu satunya itu, lantas ia menarik tuas gerbang kereta itu dan seketika itu ia jatuh lemas dan menangis sejadi-jadinya tanpa berani melihat proses kematian anaknya yang sangat tragis dan tidak pernah dibayangkan olehnya demi menyelamatkan orang orang yang ada didalam kereta api itu yang sama sekali tidak mengetahui, bahwa saat itu juga mereka telah bebas dari kematian yang kekal.

Saudaraku yang terkasih...jika kita renungkan kembali kisah diatas... bukankah cerita diatas telah terjadi 2000 tahun yang lalu... dimana Yesus telah disalib hanya untuk menebus dosa kita...? siapakah kita ini sehingga kita memperoleh keselamatan itu...?
tetapi kasih Yesus begitu besar...sehingga Dia rela mati diatas kayu salib hanya untuk menebus dosa kita... (injil Yohanes 3:16)

saya mau katakan pada saudara...bahwa hanya Yesus sajalah yang rela mengorbankan nyawanya bagi kita. Tak ada kasih yang demikian besar seperti yang dilakukan Yesus demi menyelamatkan kita. kematian Yesus itu tidak dapat dinilai dengan apapun yang ada didunia ini...terlalu mahal dan sangat mahal untuk sebuah jiwa seperti saya dan saudara...tapi, saya juga mau katakan sesuatu pada saudara... kematian Yesus 2000 tahun yang lalu bukan hanya untuk menebus dosa orang yang hidup pada jaman itu saja...tetapi darah-Nya yang tercurah 2000 tahun yang lalu masih mampu dan Dia sanggup menyelamatkan kita.

Percayalah kepada Yesus...sebab hanya melalui Dialah kita dapat diselamatkan. dan bagi kita yang sudah percaya pada Yesus... janganlah kita menjual kematian Yesus dengan hal hal yang bersifat duniawi... terlalu mahal harga sebuah nyawa itu, sobat...

Teman temanku yang terkasih didalam Yesus Kristus... kami tidak mau teman teman hanya membaca kisah di atas ini lalu di delete tanpa di forward kepada teman teman kalian yang lain... sediakanlah waktu bagi Tuhan untuk bersaksi tentang pengorbananNya ini kepada teman temanmu yang belum mengenal Yesus secara pribadi.

jika Tuhan yang menciptakan langit dan bumi ini selalu menyediakan waktu-Nya untuk mengawasi teman teman sekalian, kenapa teman teman tidak membalas kebaikan-Nya dengan mengirimkan email ini kepada orang orang yang masih menanti uluran tangan kita? sekaranglah waktunya...jangan ditunda lagi...sebab hari esok kan terlambat...! selamat bersaksi dan menerima keselamatan yang dari Allah...haleluya...

Tuhan memberkati...
Kasih dan damai dalam kasih Kristus,

JESUS LOVE YOU.

TUHAN MAU LAHIR DIMANA?

TUHAN...KAU mau lahir dimana...?

di sini sudah tidak ada tempat lagi...

Jalanan macet, banjir dimana-mana....

Banyak gunung ingin meletus...hujan badai...angin ribut...

TUHAN...KAU mau lahir dimana...?

Bubarkan Satpol PP, Preman Berseragam Aparat Sipil dan Berkarakter Militer!

Penyerangan Satpol PP ke Kantor PGI Bentuk Fasisme Negara Bubarkan Satpol PP, Preman Berseragam Aparat Sipil dan Berkarakter Militer! Lawan Fasisme Negara! Dua kali kantor Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) dan sekretariat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dihancurkan semena-mena dan membabi buta oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Peristiwa ini berbuntut dari keberatan para pedagang kaki lima (PKL) bersama para mahasiswa dan warga setempat di sekitar jalan Salemba Raya dan RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM), atas penggusuran yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Pusat. Para PKL menolak penggusuran semena-mena itu dengan melawan, sehingga bentrok fisik tidak terhindarkan. Lokasi PKL di sekitar kampus Universitas Kristen Indonesia, Universitas Persada Indonesia-YAI, Universitas Indonesia, dan RSCM, di jalan Diponegoro atau pertigaan lampu merah jalan Salemba Raya dan sekitar Kramat Raya, sudah berlangsung puluhan tahun. Selama masa itu, upaya-upaya penggusuran pernah dilakukan oleh Pemerintah Kota Jakarta Pusat, namun tidak pernah berhasil. Perlawanan para PKL bersama para mahasiswa dan warga setempat terhadap penggusuran di lokasi itu terus dilakukan. Suatu kali, mobil Satpol PP pernah dibakar massa. Mahasiswa dan warga setempat memandang bahwa keberadaan PKL di wilayah itu sangat dibutuhkan. Selain terjangkau, komoditas yang diperdagangkan cukup murah. Selain itu, cara-cara Satpol PP dalam melakukan penggusuran tidak mengindahkan hak-hak warga negara. Satpol PP sering melakukan tindak kekerasan dengan berbagai varian, seperti perusakan, perampasan, pembajakan/pemungutan liar, kekerasan fisik, dll. Intinya, keberadaan Satpol PP di daerah tersebut membuat muak para PKL, mahasiswa, dan warga setempat. Tingkah mereka pantas disejajarkan dengan preman-preman pasar, namun berseragam aparat sipil bagian dari jajaran birokrat pemerintah daerah. Peristiwa ini juga berkaitan dengan Perda No.8 tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta (Perda Tibum), selain persoalan sengketa tanah PGI-GMKI dengan pihak lain. Namun, awalnya adalah rencana penggusuran di wilayah itu (Salemba dan Keramat Raya) karena dianggap melanggar Perda Tibum. Penggusuran di kawasan ini dibiayai APBD DKI Jakarta sebesar Rp68,225,000 (APBD DKI Jakarta 2008). Di sekitar wilayah tersebut, menjelang penggusuran, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama Pemerintah Kota Jakarta Pusat memasang puluhan spanduk berisi bahwa para PKL di wilayah Jalan Diponegoro-Salemba tidak boleh berjualan atas nama penegakkan Perda Tibum. Beberapa spanduk berhasil dicabut dan dicorat-coret oleh warga sekitar karena kebijakan penggusuran atas nama Perda Tibum memang tidak memihak PKL. Sebagian besar substansi Perda Tibum meminggirkan dan memidanakan rakyat miskin yang berada di Jakarta. Hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya yang sangat mengedepankan hak asasi manusia semua warga negara. GMKI Jakarta yang memotori perlawanan ini memasang spanduk di depan sekretariatnya berisi penolakkan terhadap pemberlakuan Perda Tibum karena melanggar hak asasi manusia di malam sebelum peristiwa penyerangan pertama terjadi. Saat itu, rencana pemasangan terhalang oleh kehadiran beberapa petugas Pol PP yang memaksa teman-teman GMKI Jakarta untuk tidak memasangnya. Namun, karena pemasangan spanduk masih di wilayah sekretariat GMKI Jakarta, bukan di tempat atau fasilitas umum, para petugas Pol PP tersebut mengalah. Pagi harinya, para komandan lapangan yang melihat spanduk yang sudah terpasang dan sudah runtuhnya tembok yang memagari tanah sengketa di samping Sekretariat GMKI Jakarta, marah dan coba memobilisasi sebanyak mungkin Pol PP untuk menurunkan spanduk penolakan Perda Tibum dan menyerang teman-teman mahasiswa. Siang hari upaya paksa penurunan spanduk penolakan Perda Tibum, meskipun di wilayah sekretariat GMKI Jakarta, dilakukan dengan memobilisasi ratusan Pol PP yang sudah siap dengan perlengkapan perang mereka. Bentrokan pun terjadi. Salah satu komandan lapangan Satpol PP menginstruksikan pasukannya untuk menyerang ke dalam Sekretariat GMKI Jakarta dan kantor PGI. Ritual kekerasan yang selama ini dilakukan Satpol PP saat penggusuran dan penangkapan rakyat miskin diperlihatkan jelas di sini. Para komandan lapangan juga diberi wewenang menggunakan senjata api. Mereka sering berperilaku bak koboi kesetanan yang menodongkan senjatanya ke arah massa yang menolak penggusuran, bahkan saat negoisasi berlangsung. Aparat Fasisme Negara Tindakan kekerasan Pol PP yang diinstruksikan secara lembaga oleh Satpol PP dan pemerintah kota dan daerah DKI Jakarta pada penyerangan sekretariat GMKI Jakarta dan kantor PGI, juga tindakan kekerasan yang dilakukan selama ini, menunjukkan karakter fasistik. Dalam konteks ini, fasisme negara diperlihatkan gamblang oleh pemerintah daerah Jakarta yang mengingkari perbedaan kepentingan secara represif. Bahasa pemerintahan fasisme adalah militerisme comberan yang sibuk mengatur warga dengan pemukul, pisau, atau pistol. Fasisme dalam sejarahnya merupakan metode pengamanan prestise, kekuasaan, dan modal. Begitu pun, Pemda DKI Jakarta dan Pemerintah Pusat dalam agenda pengamanan ini menciptakan institusi, seperti Satpol PP untuk menjalankan teror dan kekerasan dengan tujuan membatasi kedaulatan warga kota meski bertentangan dengan aturan hukum yang ada. Pada saat ideologi fasis subur di Eropa, Pemerintah Perancis membentuk polisi sipil (sering mendapat predikat polisi modal) yang dinamakan Gendarme. Kesatuan polisi sipil ini berfungsi untuk penegakan ketertiban umum dan menjadi bagian dari angkatan bersenjata Perancis. Institusi ini sering digunakan sebagai kelompok pemukul terhadap mereka yang menentang fasisme negara. Antara Satpol PP dan Gendarme (semakin) mirip. Tindakan kekerasan yang sering dilakukan Satpol PP terhadap kelompok-kelompok yang diidentifikasi penguasa sebagai oposan merupakan tindakan pidana dan seharusnya mendapat tindakan hukum yang tegas. Namun, karena fasisme sudah menjangkiti negara, maka tindakan kekerasan negara itu tidak pernah diproses hukum. Persoalan ini menunjukkan ke salah satu karakter fasisme, yakni tindakan dan kebijakannya menentang hukum dan ketertiban konstitusi dan aturan internasional yang sejalan dengan kemanusiaan. Para Pol PP yang dituntut memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang membabi-buta atas perintah atasan membuat dasar tindakannya tanpa harus mempersoalkan apa dan bagaimana. Dekredibelisasi Kepolisian Peristiwa penyerangan Satpol PP terhadap sekretariat GMKI dan kantor PGI mempertanyakan peran pengamanan masyarakat yang selama ini dijalankan oleh Kepolisian. Penyerangan Satpol PP terhadap warga negara yang selama ini dilakukan dibiarkan oleh Kepolisian. Bahkan, proses penyidikan oleh Kepolisian terhadap kasus-kasus pidana yang dilakukan Satpol PP juga dibiarkan. Padahal melihat tindakan Satpol PP selama ini melebihi wewenang Kepolisian. Seakan, kredibilitas Kepolisian di bawah struktur Satpol PP yang perekrutannya pun asal-asalan. Bahkan, di beberapa waktu, bentrokan antara pasukan Kepolisian dengan Satpol PP pernah terjadi saat penggusuran. Hal itu pun tidak pernah ditindak-lanjuti oleh Kepolisian. Kepolisian seharusnya tunduk pada konstitusi negara yang menjamin keamanaan, kebebasan berpendapat, dan kesejahteraan warga negara, bukan kepada kaum pemodal yang menyetir pemerintah. Posisi Satpol PP dalam hal ini adalah pengaman modal dan fasisme adalah metode yang paling tepat mendukung pengamanan tersebut. Ini bentuk pelecehan struktural terhadap institusi Kepolisan Republik Indonesia yang seharusnya berwenang daulat tanpa diintervensi oleh Satpol PP.