Natal di Antara Kehancuran dan Pengharapan

Memahami makna Natal bukan hal sederhana. Tetapi fenomena Natal, itulah yang hidup sekarang. Apa beda makna dengan fenomena? Istilah makna adalah memahami kedalaman daripada Natal, memahami pesan yang ingin Tuhan sampaikan. Sementara fenomena adalah sebuah gejala yang ditangkap oleh indra manusia lalu dijadikan semacam satu ukuran.

Fenomena menyebabkan seluruh atribut Natal mewarnai dan menguasai, bahkan menenggelamkan makna Natal, sehingga boleh dikatakan, gereja kehilangan arah itu. Gereja mengidentikkan Natal dengan damai, artinya tidak ada perang, tidak ada kesulitan, tidak ada pertikaian. Gereja mengidentikkan Natal dengan sukacita, artinya bahwa apa yang kita mau, ada. Gereja mengidentikkan Natal dengan kebahagiaan,artinya seluruhnya menjadi lain dari
hari yang lain.Semua kesalahpahaman ini sudah berlanjut, sehingga Natal lebih banyak menjadi penantian para bisnismen, industri-industri, daripada penantian akan Tuhan. Gereja pun terjerumus ke dalam perkara yang lebih menakutkan lagi. Natal identik dengan semacam showbiz.

Sekarang Natal dipergelarkan dalam bentuk wah. Itu tidak salah, yang menjadi salah jika hal itu diwujudkan dengan biaya yang luar biasa. Pada saat bersamaan, berapa banyak orang menanti maut karena kelaparan? Berapa banyak orang meratap dan merintih? Damai hanya ada di dalam gedung gereja. Pengharapan hanya ada di dalam khotbah, bukan dalam kenyataan. Bukankah itu suatu kegentingan di mana orang Kristen perlu merenung ulang, apa itu Natal?

Coba kita renungkan. Apakah kita harus kasihan kepada orang-orang yang tidak bisa merayakan Natal seperti kita karena mengalami banyak kendala? Mungkin perayaan Natal kita akan membawa kita ke neraka, tetapi mungkin Natal yang dirayakan dalam keprihatinan akan membawa mereka ke sorga. Natal yang serba kecukupan dan luar biasa mungkin membuat kita lupa sungguh-sungguh berdoa. Tetapi Natal penuh tangisan dan airmata, doa yang dinaikkan bisa menjadi gegap gempita di dalam sorga.

Bagaimana dengan Natal pertama? Natal yang sangat simbolik dengan kehancuran, Di sana muncul tokoh bernama Herodes. Dia memerintahkan sesuatu yang sangat menakutkan dan mengerikan dan tidak pernah terbayangkan, dan menjadi satu noda yang menyakitkan bagi Betlehem: membunuh anak-anak di bawah usia dua tahun!

Kehancuran di Natal pertama itu apa? Yang pertama adalah banjir darah, kematian anak-anak di bawah usia 2 tahun. Mereka harus mengalami pembunuhan, mati demi ambisi Herodes yang tidak ingin ada saingan. Menakutkan dan mengerikan. Natal pertama harus dibayar dengan darah.

Bagaimana jika sekarang ada bom? Marilah berdoa, kalaupun bom itu meledak semoga kita masuk sorga. Kenapa mesti pusing? Kita toh tidak bisa melarang, kita tidak bisa marah. Orang mau marah silakan, itu urusan mereka. Tetapi bagaimana menyatakan cinta kasih, itu tanggung jawab kita. Itu sebab bagi saya tidak terlalu masalah ketika menyikapi apa yang sedang terjadi. Bagi saya, tidak terlalu penting apa yang sedang terjadi di dunia, tetapi bagaimana kita berjalan dan bekerja melakukan apa yang Tuhan mau.

Air mata suka cita
Yang kedua, banjir air mata. Di sana ada hawa nafsu. Darah tumpah di mana-mana, maka air mata mengalir pula di mana-mana. Bahwa Natal suka cita itu betul, tetapi sukacita yang belum “titik”, tapi “koma”. Tidak mungkin orang Kristen bersuka cita waktu Natal, tanpa mengeluarkan air mata. Tidak mungkin orang Kristen bersuka cita waktu Natal tanpa menangis. Kenapa? Karena begitu Anda suka cita merenungkan kasih Tuhan, bisakah Anda merenungkan dan merasakan itu tanpa menangis? Tidak mungkin engkau tidak akan menangis di dalam suka cita, “Tuhan, kenapa Kau pilih aku? Kenapa Kau cintai aku?” Maka keluarlah air mata penuh suka cita. Kalau suka cita lalu mabok, itu orang sekarang.

Orang-orang Barat sangat sentimen romantis waktu memanfaatkan Natal. Bagi mereka, itu malam yang sangat indah. Tetapi karena sudah bercampur dengan budaya maka mabuk karena minuman keras menjadi hal yang biasa. Jika itu terjadi di malam Natal tentu sangat menyedihkan. Di Barat, orang sudah biasa mengekspresikan suka cita di dalam emosi yang sering kali salah.

Natal, adalah saat kita diam dan bertanya, “Tuhan, sebenarnya waktu saya mau percaya sama Tuhan, cari kesenangan buat saya, atau saya mau menyenangkan Tuhan? Jika memang mau menyenangkan Tuhan, susah pun kau bahagia.

Ketiga, banjir amarah. Karena Herodes sudah gelap mata tidak tahu lagi kawan atau lawan. Karena gelap mata, dia tidak berhitung lagi. Baginya, yang penting tidak boleh ada orang lain menjadi raja, sekalipun dia tidak mengerti apa yang dimaksud orang Majus sebagai “Raja Orang Yahudi”.

Maka Natal pertama memang porak poranda, hancur berantakan, tetapi justru di situlah paradosks daripada Natal itu. Justru di kehancuran itulah damai bersemi. Justru di kehancuran itulah damai dinyatakan bagi orang yang diperkenannya. Anugerah Natal bukan murahan. Tidak semua orang bisa berbahagia karena Natal kecuali yang diperkenan Tuhan. Anda berhak atas kebahagiaan Natal jika hidup berkenan dan diperkenan Tuhan. Kebahagiaan itu menjadi milik orang yang kuat, sehingga Natal membuat dia teguh di tengah kepahitan. Natal membuat dia teguh di tengah ancaman.

Kehancuran memang ada dan tidak terhindarkan. Jangan pernah mimpi akan ada saat di mana tidak ada kehancuran. Itu nanti di sorga. Jangan pernah mimpi akan ada saat tidak ada kesusahan, lalu kita menjadi orang Kristen yang begitu mulus. Kitab Wahyu mengatakan: “Makin lama manusia makin jahat, makin lama manusia makin memberontak”. Itu gambarannya. Tetapi berbahagialah mereka yang teguh berharap kepada Dia, karena di antara puing-puing kehancuran itu muncul pengharapan yang luar biasa dari Yesus, simbol pengharapan.

Merayakan Natal

Pekan ini, tanggal 25 dan 26 Desember, umat Kristiani merayakan Natal. Natal yang merupakan peringatan kelahiran Kristus Jesus sekitar 2000 tahun yang lalu itu menjadi sebuah perayaan besar bagi umat Kristen.
Dimana-mana Natal dirayakan, selalu ada kesan meriah dan penuh kegembiraan di sana. Warna yang dominan adalah hijau, merah dan kuning, menyiratkan adanya sukacita yang dibawa di Rata Penuhdalam merayakan Natal. Semarak Natal menghiasi seluruh kota, terutama di Eropa yang memang membangun negaranya dengan tradiri Kristiani sejak lama. Di sana, bukan hanya rumah yang dihiasi, tetapi kota ditaburi dengan lampu dan ornamen Natal. Setiap kali Natal datang, yang kita saksikan adalah sebuah kolaborasi antara budaya, seni dan ibadah pada saat yang sama.
Perayaan Natal di negeri ini juga tidak luput dari kesan sukacita dan kegembiraan. Ibadah-ibadah di gereja adalah ibadah yang membawa makna Natal kepada umatNya. Demikian juga dengan perayaan Natal di rumah-rumah, sudah sejak lama dipersiapkan. Semuanya tidak ingin melewatkan kesempatan penting dan istimewa ini. Ada kesan penting dan utama ketika perayaan Natal disambut di seluruh negeri.
Tetapi apakah Natal yang dirayakan seperti sekarang ini, seperti itukah dulu ketika Kristus pertama sekali hadir? Jawabnya tidak. Ketika Kristus lahir di Betlehem, pada waktu itu bangsa Yahudi sedang menantikan seorang yang akan membebaskan mereka dari penjajahan Romawi kala itu. Mereka menantikan seorang pejuang dengan kekuatan besar—bahkan mungkin seperti para nabi di Perjanjian Lama—yang bisa dalam waktu singkat membangkitkan perjuangan bersama mereka.
Sayangnya yang mereka lihat dan dengar adalah sosok bayi yang mungil, manusia biasa, yang kemudian tumbuh dan berkembang di dalam keluarga seorang tukang kayu. Ini adalah fakta yang kemudian menyebabkan Kristus menjadi sebuah kontroversi. Apalagi pelayanannya di kemudian hari banyak melibatkan mereka yang terlupa, tertinggal, bahkan termarjinalkan di dalam kehidupan kala itu.
Karena itulah kelahiran Kristus yang dulu sama sekali tidak disambut oleh parade manusia, tetapi sebaliknya oleh parade dan barisan malaikat yang berdiri menyajikan pujian kepada Tuhan yang berkenan hadir ke dalam dunia ini. Ini adalah sebuah perayaan sorgawi yang merayakan bagaimana surga bersukacita atas berkat yang tidak terhingga kepada umat manusia, meski pada saat yang sama, manusia di jaman itu tidak mengenal apa yang terjadi, bahkan menolak apa yang sesungguhnya merupakan berkat Tuhan kepada mereka.
Pada konteks inilah kita ingin memahami Natal. Kita berharap bahwa semangat perayaan Natal ini justru kita pahami sebagai sebuah perenungan terhadap diri yang sering tidak memahami rencana Tuhan, termasuk berkatNya yang sesungguhnya melimpah dalam kehidupan.
Perayaan Natal jangan sampai menjadikan umatNya bagaikan umat Yahudi di jaman dulu, yang tidak tahu bahwa Juru Selamat sudah hadir di depan mata mereka. mereka menunggu dan menanti bahkan merayakan yang lain, bukannya menjadikan apa yang terjadi sebagai sebuah titik balik kehidupan untuk merangkul, menggapai dan melibatkan mereka yang selama ini tercecer dari pelayanan keimanan mereka sendiri.
Natal memang mengubah semua. Mengubah cara pandang umatNya terhadap Dia yang datang, mengubah semangat pelayanan sehingga lebih membumi dan melebar, serta mengubah semarak yang hanya sekedar simbol, menjadi perayaan yang sesungguhnya.