Ideologi sebagai wacana, hakikatnya merupakan kesatuan gagasan, keyakinan, dan pemikiran yang terus ada menyejarah dan tak pernah hilang. Sebaliknya, dalam tataran praksis, ideology (politik atau ekonomi) telah mengalami berbagai interpretasi dan pengertian. Dalam tataran modern, ideologi memiliki makna negatif atau jelek (perioratif) sebagai teorisasi atau spekulasi dogmatik, khayalan kosong, dan tidak realistis. Ideologi juga memiliki makna positif (melioratif) sebagai setiap sistem gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal yang filosofis dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dalam ranah implementatif, berbagai macam ideologi (liberal klasik, neoliberalisme, marxis,
sosialis, atau Pancasila sekalipun) mengalami dekonstruksi dan interpretasi yang beragam sesuai pengalaman dan kesadaran serta nilai-nilai yang diyakini individu sebagai sesuatu yang benar. Demikian juga ideologi suatu negara, yang dipandang terbaik oleh para elitenya, belum tentu akan sama dimaknai oleh rakyatnya. Kenyataannya suatu ideologi tentu akan sangat tergantung dari sejauhmana ideologi mampu menjawab berbagai kepentingan praktis para penganutnya. Contoh ekstrem, banyak orang meragukan kemampuan neoliberalisme sebagai kelanjutan modernisme untuk menjawab sistem ekonomi
Kepemimpinan kolektif
Eksistensi negarawan sejatinya memiliki berbagai kelebihan yang pantas dan layak dipertaruhkan dalam sebuah kompetisi dan kepentingan yang kolektif dan lingkupnya yang amat luas. Indonesia sebagai kesatuan dari berbagai kondisi SDM dan SDA yang teramat kompleks, bukanlah realitas sosial final yang mudah dibaca dalam lembaran kertas, namun sebagai entitas sosial yang perlu dikaji ulang secara kritis dan dinamis terus-menerus. Mencermati simpul-simpul kekuatan dan kekuasaan yang berada di lingkaran elite hanya akan membutakan penglihatan dan penghayatan realitas sesungguhnya yang terjadi pada mayoritas rakyat. Jika masih ditemukan kemiskinan, kelaparan, gizi buruk, drop out SD, SMP, dan pengangguran, rakyat dengan mudah merasakan apakah masih dibutuhkan pemimpin atau tidak. Demikian juga jika masih ditemukan berbagai pelanggaran norma-norma sosial, moral, dan hukum positif dalam masyarakat. Kepemimpinan kolektif yang dilahirkan melalui demokrasi sejatinya melahirkan pemimpin yang memiliki komitmen pada nasib rakyat pemilihnya. Namun, karena SDM rakyat yang masih berkutat dengan segala keterbatasannya sehingga potensial untuk diiming-imingi dengan materi ala kadarnya (kasus parpol, transport bensin, dan lain-lain.), substansi demokrasi berganti dengan demonstrasi dan tawuran, termasuk praktik koalisi dan konflik ideologi yang telah membingungkan dan sulit dipahami.
Dalam situasi negara, elite, dan rakyat seperti itu, siapa pun pemimpin, ideologi macam apa pun, tak akan mampu menarik perhatian rakyat, kecuali berlomba pada tataran substantif perubahan dan dinamika mayoritas rakyaMengurangi berbagai pelanggaran, penyelewengan birokrasi di tingkat elite kekuasaan, tentunya dinilai sebagian orang tidak akan populer. Namun, akan sama halnya, jika dibiarkan, sama dengan menyimpan bom waktu. Kepemimpinan kolektif yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang benar-benar memiliki komitmen pada perubahan, pembenahan birokrasi, membersihkan pejabat bermasalah demi kepentingan perubahan nasib rakyat banyak. Paling tidak, rakyat merasakan kehadiran seorang pimpinan dan dibutuhkan dalam kehidupannya.