Semangat Dalam Keterbatasan

“Beta kasihan liat ini ana dong…umur su 7 ato 8 tahun dong belum ada yg bias baca…entah nanti karmana dong bisa kasi abis sekolah kalo begini terus…adik dong tau sendiri to sekarang standar kelulusan su tambah tinggi…”

Itulah sebagian keluhan dari ibu Janse seorang guru SD, pencetus lahirnya kelompok belajar di desa Oebola, Fatuleu Barat. Ia dan beberapa rekan guru, seperti tak kenal letih membimbing anak-anak di desa itu agar dapat membaca dan menulis. Walaupun ditengah kesibukan mereka sebagai orang tua, guru bahkan sebagai pekerja ladang, namun kepala mereka tetap memikirkan apa yang terbaik buat anak-anak di desa Oebola.

Perjalanan menuju Oebola memakan waktu kurang lebih 1 jam. Dengan menggunakan mobil, saya dan teman-teman berusaha untuk berangkat pagi-pagi agar tidak terlalu tersengat panasnya matahari yang dalam beberapa minggu terakhir ini sudah sangat mengkhawatirkan. Desa Oebola yg terletak di Camplong berada di dekat kawasan penangkaran rusa. Jalan masuk ke desa itu juga tidak terlalu sulit namun sedikit menyulitkan pada musim hujan karena ada jalan yang tergenangi air dan membuat jalan itu sedikit rusak dan longsor di bagian pinggirnya, begitu yang dikatakan oleh beberapa orang penduduk yang kami temui di jalan masuk desa. “itu jalan sebenarnya bae, cuma air malele terus andia ko jalan rusak. Di pinggir ju su longsor. Air kasi rubuh itu bronjong yang katong pernah bikin”.

Kami tiba di sebuah rumah, yang bersebelahan dengan gedung Gereja Betel Oebola. Rumah tembok berwarna merah muda dengan halaman yg cukup luas dan kering itu sepi, seperti tak ada penghuninya. Sambil melepaskan lelah di bawah pohon kayu besi di depan gereja, saya meminta seorang teman untuk memeriksa rumah tersebut. Namun belum sampai teman saya mengetuk, pintu sudah terbuka. Seorang ibu, berambut sebahu dengan baju putih kusam langsung melempar senyum sembari berkata “ Selamat siang adi ! masuk sa jang malu-malu. Kawan yang laen mana? “ kami yang lain langsung bergegas menuju rumah dan masuk. Karena ruang tamu yang tidak terlalu besar maka yang lain hanya menunggu di teras rumah yang berlantai semen kasar.

Ketikan ditanya dorongan apa yang membuatnya membuat kelompok ini, dengan setengah menengadah, ibu Janse berkeluh “Beta kasihan liat ini ana dong…umur su 7 ato 8 tahun dong belum ada yg bisa baca…di sekolah akhirnya ini ana dong pung prestasi sonde bagus semua. Entah nanti karmana dong bisa kasi abis sekolah kalo begini terus…adik dong tau sendiri to sekarang standar kelulusan su tambah tinggi…Beta ni hanya guru kelas I sd sa, pendidikan sonde tinggi”. Saya yg berada di luar tepat di depan pintu hanya menahan nafas. Sesak rasanya. “Mengapa masih ada kondisi seperti ini ? ”, gumam saya. Namun perhatian saya pecah ketika dari arah jalan tiga orang anak laki-laki berlarian sambil membawa buku yang dijepit di ketiak. Salah seorang dari mereka menggigit pensil sambil berusaha menyusul 2 temannya. Tak beralas kaki, berdebu namun rambut ketiganya mengkilap seperti di bilas dengan minyak. Saya tersenyum dan perlahan mendekati mereka. Mereka tampak malu-malu ketika saya berusaha mengabadikan keceriaan mereka. Selang beberapa menit, saya mengangkat mata dan sedikit terpana karena ternyata sudah banyak anak-anak di teras rumah ibu…..ada yang sebaya, ada juga yang lebih besar dan ada yang datang bersama adiknya yang paling kecil.

Sekitar 10 menit kemudian mereka sudah larut dalam lagu, gerak dan cerita dari guru pendamping mereka. Kebetulan yang hadir cuma dua orang guru pendamping, meski begitu mereka tetap semangat. Kami hanya bisa melihat sambil bercerita kecil tentang kondisi ini. Yang hadir di kepala kami bukan rasa kasihan namun bangga dengan keberanian dan kemampuan guru-guru itu, yang tidak peduli pada keterbatasan mereka. Memulai sesuatu hanya bermodalkan semangat. Suatu hal yang luar biasa yang kami dapat temukan ditempat seperti ini.

Kegiatan kelompok belajar itu berakhir pada pukul tiga sore. Sambil berteriak-teriak dan berlarian anak-anak itu berhamburan menuju rumah masing-masing. Kami lalu mendekat ke teras rumah untuk berdiskusi tentang apa saja yang bisa kami lakukan untuk setidaknya membantu kondisi ini. Dari perbincagan awal teman-teman yang lain dengan Ibu Janse kami mendapat info bahwasanya kelompok belajar ini sudah berusaha mendapatkan ijin dari 2 tahun yang lalu namun sampai sekarang belum ada jawaban dari pemkab Kupang. Menyoal keterbatasan sarana prasarana, kami akhirnya bersepakat untuk berusaha semampu kami membantu dalam penyediaan sarana prasarana yang kami bisa dapatkan dengan harga yang tidak terlalu tinggi. Akhirnya kami bersepakat dalam tempo tiga minggu kemudian kembali ke Oebola dengan apa yang kami dapatkan nantinya.

Waktu telah menunjukkan pukul setengah 5. Kami memutuskan untuk kembali ke Kupang. Sambil berpamitan kami berjanji pada Ibu Janse untuk berusaha menyediakan waktu agar bisa kembali lagi ke tempat ini. Beliau menjabat tangan kami dengan erat sambil sesekali mengucapkan terima kasih pada kami. “ adi dong pun perjuangan Tuhan sa yang bisa balas nanti, katong son punya apa-apa buat adi dong”. Setelah berpamitan, kami pun bergegas pulang sebelum matahari meredup.

“ Adi dong pun perjuangan Tuhan sa yang bisa balas nanti”. Kata-kata ibu itu terus terngiang-ngiang di telinga saya sepanjang perjalanan kembali ke Kupang. “ apakah yang kami lakukan nanti akan cukup membantu ? ” pikir saya sambil sekali-kali menyenandungkan Dance With My Father-nya Luther Vandross. Mata yang lelah akhirnya membawa saya tertidur. (Ghento KoAR)