Diskusi Tata Ruang Tentang Pemanfaatan Pesisir Pantai menuju “Water Front City”

Diskusi tentang pemanfaatan Pesisir Pantai dengan narasumber Bung Iwan Manggol dan Bung Erik Ataupah (planology-ITN Malang) sabtu, 2 April 2011, membuat Komunitas Kecil ini disentak dengan beberapa hal mulai dari pemahaman regulasi undang-undang, pemahaman dalam tata ruang, dan juga kebijakan Pimpinan Kota ini tentang visi “ Water Front City “.

Menurut Undang-Undang yang ada dimana wilayah pesisir pantai dikhususkan sebagai ruang publik alias terbuka untuk umum kapan saja semua warga ini dapat menikmati pantai dan pemandangannya, baik saat warga ingin rekreasi pantai maupun saat berkendara semua warga dapat menikmati pemandangan pantai yang indah itu dengan GRATIS!

Namun saat ini ada beberapa hal yang miris karena ada hal-hal yang janggal saat kami disadarkan dengan kejadian nyata yang berkembang dikota Kupang ini. Salah satu contohnya yaitu banyak lahan yang kini telah tertutup seng biru di sepanjang garis pesisir pasir panjang hingga kelapa lima dengan tulisan besar dengan cat “AKAN DIBANGUN HOTEL BERBINTANG LIMA”. Sangat bertentangan dengan aturan yang ada namun mengapa hal ini tidak menjadi perhatian warga? Pertanyaan ini dibalikkan dengan fakta seberapa banyak orang yang tahu aturan yang berlaku? Miris memang saat kami ketahui tapi kami belum berbuat apa-apa.

Beberapa fakta yang dikemukakan oleh narasumber ini pun di lanjutkan dengan fakta lain di wilayah Kota Kupang ini yang dibeberkan peserta diskusi ini beberapa diantaranya perilaku masyarakat yang kurang sadar dampak kedepan saat mereka menambang pasir pesisir Kelurahan Nunbaun Dela, Bahkan ada yang mengatakan bahwa kelihatan dengan jelas saat semua tawa terlihat di pemandangan sore hari ketika hampir sebagian warga kota Kupang bercanda ditengah dekapan sinar mentari yang melambai saat terbenam. Tetapi apakah ini akan dijamin di tahun-tahun yang depan ataukah tinggal cerita saat kita bersama anak-cucu kita? Atau saat menikmati pantai kita harus menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk dapat menikati pantai di wilayah bukan Kota Kupang, karena semua pesisir dikota ini hanya milik Hotel Tertentu atau Privasi saja?

Semua pun diajak untuk mengeluarkan hal kreatif untuk menindak-lanjuti pengetahuan ini sekaligus mulai mengeluarkan Ide Gila untuk mulai melihat pantai ini lebih bermanfaat dari pada hanya hotel yang menghasilkan pajak pada kota tapi menganggurkan banyak warga kota ini. Beberapa yang unik yang diperlihatkan oleh peserta diskusi ini adalah mulai memanfaatkan pantai dengan cara unik yaitu wisata pinggir pantai, dan banyak lagi hal menarik lainnya. Selain itu yang lebih gila lagi yaitu penelitian pemanfaatan pasir pesisir pantai sebagai pembangkit listrik untuk menunjang kebutuhan listrik warga kota Kupang.

Sebelum kegiatan ini ditutup, kami disemangati kembali tentang idealisme mahasiswa kami yang berperan penting bagi warga kota ini, sesuai visi yang ada kami dapat menjadi magnet bagi simpatik warga kota dengan perjuangan kami maupun sebagai batasan dalam regulasi kebijakan pemerintahan menuju demokratisasi otonomi kota Kupang.

Beberapa hasil yang kelihatan jelas yaitu komunitas ini mulai meneliti tentang potensi pasir yang besar, dalam penelitian awal dari pasir dengan 5 wadah plastik kecil mampu menghasilkan 5 volt dengan 0.57 mA arus dan mampu menyalakan 3 buah lampu led. Ini menjadi bukti awal yang kuat untuk mengawali analisa kami untuk memberi pertimbangan lain bagi para pemimpin Kota Kupang ini dimana pantai ini sangat bermanfaat dan memberi saran untuk wilayah pesisir kota ini untuk tidak dijadikan “Hutan Beton” semata. Tetapi berikanlah kehangatan dekapan sang mentari saat menyapa dan melambai kepada kami saat kami menikmatinya diatas pasir putih dengan suara ribut ombak yang menenangkan jiwa.


By : Patra Gumay (Ogan) Sek.Kom. Demisioner Teknik

Pendekatan Humanis dalam Penataan Organisasi

Sebuah organisasi dapat dikenal melalui sebuah pendekatan. Sebagian orang menganggap organisasi adalah obyek yang menyenangkan dan menarik karena mereka bertujaun untuk memahami organisasi dengan mendeskripsikan komunikasi organisasinya. Komunikasi organisasi menjadi penting untuk dilihat, dipahami dan dipakai dalam meretas sebuah solusi untuk persoalan atau masalah dalam sebuah organisasi.

Sebuah organisasi terdiri dari unit – unit komunikasi dalam hubungan hierarkis antara satu dengan lainnya dan berfungsi dalam suatu lingkungan. Hubungan antara organisasi dan lingkungan bersifat alami. Kealamian hubugan itu juga berdampak pada struktur sebuah organisasi harus bersifat luwes dan mungkin berubah sebagai respons terhadap kekuatan lingkungan yang internal dan eksternal.

Hal ini menarik kalau kita pakai dalam melihat persoalan yg dihadapi oleh komisariat tertentu semisal Teknik dengan BPC GMKI, jika memang benar hanya persoalan komunikasi organisasi yang dalam hal ini antara anggota (baca: Komisariat) dan BPC mengapa sampai menimbulkan kesan perlawanan di tingkat anggota komisariat? Apakah hanya itu esensinya?tidak ada kemungkinan hal lain? Seperti yg dilansir pada Bulletin cabang GMKI ‘ Tarukh ‘ edisi perdana Maret 2011, bahwa ada penyimpangan dalam keputusan komisariat pada saat Muskom dengan konstitusi dan juga Statuta yang adalah produk konpercab Fatunisuan. Di teknik misalnya terjadi penolakan (sesuai kebutuhan) terhadap struktur Litbang yg disyaratkan oleh Konfercab Fatunisuan dan Komisariat Galilea yg ‘terpaksa’ memasukan anggota baru mereka dalam struktur komisariat yang notabene melanggar Satuta Cabang.

Pada tahapan persoalan ini, kemungkinan besar dipengaruhi oleh sedikitnya 3 faktor utama yang coba dilihat dalam kacamata komunikasi organisasi.

Faktor pertama, melihat case komisariat Teknik, maka kita akan menduga bahwa penolakan ini terjadi karena tingkat pengawasan yang kurang baik dari BPC terhadap seluruh arak-arakan Muskom. Indikasi ini bisa jadi benar karena seperti yang kita tahu hampir semua musyawarah komisariat di GMKI menggunakan metode yang sama sampai pada tingkatan drafting bahan Muskom. Tradisi copy paste yg dijalankan pun membuat seolah-olah muskom hanya sebuah tuntutan organisatoris belaka tanpa sebuah niat tulus kearah perubahan. Oleh karenanya psikologi BPC sebagai pihak yang mengawasi seperti merasa tanpa tantangan dan yang lebih parah dari itu adalah tanpa persiapan. Akhirnya ketika menemui sebuah dinamika dalam metode yang baru, seolah-olah tidak mampu berbuat apa-apa dan hanya terpana dalam proses itu dengan sesekali membandingkan dalam kepala, Muskom lain yang tidak seperti muskom Teknik. Hal ini yang akhirnya membuat tidak ada sebuah alasan ilmiah dan kritis coba disajikan dalam konteks komisariat harus mengindahkan titipan konfercab Fatunisuan.

Dalam pemahaman anggota komisariat, muskom menjadi keputusan tertinggi bukan saja untuk mengambil keputusan ditingkaat komisariat tapi juga menjadi wadah untuk menampung semua aspirasi kebutuhan yang tentunya lebih dirasakan oleh anggota komisariat dalam komisariat itu yang sehari-hari hidup dalam dinamika dan perkembangan yang mempunyai potensi perubahan drastis dalam hitungan detik ketimbang BPC yang hadir untuk mengawasi.

Faktor kedua, yang tak kalah penting adalah, bagi komisariat Teknik, ini bukan persoalan organisasi semata, namun sudah pada tingkatan persoalan ikatan emosional yang terbangun sejak lama. Belum lagi setelah selesai muskom seolah-olah ada tuntutan memasukan struktur litbang dalam srtuktur komisariat dengan pendekatan ‘kekuasaan’ kepada komisariat. Bagi komisariat, ini menjadi sebuah persoalan cara pandang terhadap persoalan yang akhirnya berujung pada sebuah tindakan inkonstitusional yang dilakukan oleh oknum BPC. Ketidakseragaman pemahan pada level yang berbeda membuat komunikasi antara keduanya berjalan timppang sesuai garis kuasa. Dan ini polemiknya.

Dan hal ketiga, dan baagi kami ini yang menarik. Pendekatan dalam menyelesaikan persoalan. Pendekatan organisatoris yang dilakukan kurang dibarengi dengan perspektif humanis karena anggota komisariat merasa pendekatan yang dilakukan membuat anggota menjadi resisten. Pendekatan humanis agaknya harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam mengatasi persoalan dalam tubuh organisasi disamping konstitusi dan juga relasi kuasa. Ada saatnya peran relasi kuasa, konstitusi bermain tapi ada saatnya juga dlam, hubugannya dengan komisariat (internal) pendekatan humanis membat anggota menjadi lebih berarti dan diayomi.

Mungkin hal-hal ini yang harus diperhatikan dalam memncoba mengamati dan menyelesaikan persoaln dalam tubuh GMKI saat ini. Intinya bukan soal pelantikan tapi soal eksistensi dan penghargaan sebagai bagian dari perubahan dalam menghadapi tantangan jaman. Syalom !!

Penulis : Adhy Johanis (Kekom Terpilih Teknik Undana)